Recent

30 January, 2017

Puisi Ajib Rosidi Ejaan Lama #6

Kepada Penjair


Penjair. Kaulah pradjurit terahir
Jang meski dengan pena patah, mesti menegakkan Kebenaran
Karena dunia
Tak boleh kaubiarkan tenggelam
Dalam lautan fitnah dan taufan pengkhianatan


Kaulah jang takkan berdiri
Di fihak pemimpin palsu dan penipu. Tak perlu mendjilat
Karena kau tak bakal kehilangan pangkat. Tak perlu takut
Karena kau tak nanti membiarkan bangsamu makan rumput.
Kau ‘kan
Tegak di depan si ketjil jang lapar menggigil.


Kaulah pembela si lemah
Jang tak habis-habisnja diobral dan didjual
Oleh si pembual dari rapat ke rapat. Namun tak pernah
Sekalipun ia teringat: rakjatpun hidup dan mampu melihat
Segala kepalsuan jang hendak ditutupi
Dengan sembojan dan djandji.


Penjair! Asah pena, sihirlah
Kebenaran dan Keadilan bagi si ketjil
Jang tak pernah djemu berkurban, sabar dan rela
Demi tjita-tjita jang mulia.


1965




Djeram


Air beterdjunan dalam djeram
Buihnja memertjik ke tebing tempat kami berbaring
Dan ia mengelaikan kepala
Dengan mata meram terpedjam
Atas tanganku jang mentjari-tjari
Arah manakah burung gagak hinggap
Jang suaranja njaring
Memetjah ketenangan hutan
Sehabis hudjan


Air beterdjunan dalam djeram
Djeram gemuruh dalam darahku
Dan dalam mimpi keabadian jang njaman
Kubisikkan kata-kata bagaikan desir angin
Mengeringkan keringat atas kening
Sedang mataku memandang tak jakin
Air berbuih jang menghilir
Entah apakah ‘kan tiba
Di muara


Air beterdjunan dalam djeram
Kata-kata beterdjunan dari mulutku
Sungaipun tahu arti muara
Jang tak sia-sia menunggu.


Burung gagak berteriak entah di mana
Dan ia bersenandung entah mengapa
Karena dalam kesesaatan tak terdjawab tanja lama
Jang sudah lama hanja tanja: Hingga mana? Pabila? Mau apa…?
Dan dengan djari-djari gemetar
Kujakinkan hatiku sendiri: Segalanja
Berlaku pertjuma serta sia-sia


Dan perempuan ini ‘kan mati dalam kepingin
Karena angin hanja angin


Kerena djeram beterdjunan dalam diriku
Jang tak mengenal musim kemarau


Air beterdjunan dalam djeram
Dan djeram beterdjunan dalam darahku.


1962

0 komentar:

Post a Comment