Tentang Maut
I
Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Menerima atau menolak, tak peduli
Dengan tangan dingin namun pasti
Sang Maut datang dan tiap hidup ia ahiri.
Kuperhatikan perempuan sedang mengandung
Wadjahnja riang, mimpinja menimang si-djabang
Namun kulihat Sang Maut aman berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang
Kuperhatikan baji lahir
Dan pertama kali udara dia hirup
Dalam tangisnja kudengar Sang Maut menjindir:
,,Djangan nangis, kelakpun hidupmu kututup”
II
Jang kukandung sedjak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubentji
Tapi kalau hidupku nak dikuntji
Datang Tuhan menawari:
,,Sukakah kau hidup semenit lagi?”
Kudjawab pasti: ,,Suka sekali!”
III
Seperti gelap bagi kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa njergap sesuka hati
Membajangi langkah, mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran djadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup jang seolah ‘kan dia rebut
Kupilih fihak: Karena pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu kudapati
Nafasnya menghembus dalam tiap hidup jang fana ini
1960
Aku Terdjaga Tengah Malam
Aku terdjaga tengah malam, hening dan tentram
Gunung kelabu samar membatu
Elahan nafas alam jang berat mengembus pelan
Dan dengan nafas sendiri tertahan
Kusimakkan tenaga gaib tersembunji
Mengadjak bangkit, menempelak, meludah penuh dendam
Mengajunkan kepalan, mata merah, terbakar amarah
Karena terlalu lama dirinja terlupakan
Dalam pesta pora kesewenang-wenangan
Karena terlalu lama dirinja didjual
Dalam berbagai pidato dan penipuan
Karena terlalu lama dirinja didjagal
Dalam berbagai pemerasan berkedok kemakmuran
Karena terlalu lama dirinja diindjak
Dalam berbagai upatjara kemerdekaan
Kini tenaga penuh semangat gaib
Kusintakkan seperti lahar dalam perut gunung
Bangkit, menggemuruh tiada tertahan
Melanda segala penghalang
Mengatjungkan tangan ke muka
Menerdjang segala perintang
Tapi malam hening sepi, detak djantung sendiri
Dalam tentram bumi lelap, suara hati ingin diam tetap:
Tidakkah sia-sia dendam mengangkat tangan
Tidakkah sia-sia pembunuhan menghantjurkan pemerasan
Tidakkah bentuk baru ‘kan muntjul: Di mana pesta berulang
Sedang si ketjil, makin bungkuk dan renta
Diindjak dan diperas tenaga?
Tidak. Semangat akan harapan dalam impian
Memberi keremadjaan pada darah dan urat kendur
Memberi unggun dingin api berkobar
Bah membandjir dalam kali gersang
Banteng melihat kain-merah mengibar
Tidak. Semangat selalu meremadjakan. Mereka
Puas terbaring dengan senapang di tangan
Tak ketjewa mati sedang berdjuang
Tak pertjuma derita buat harapan masadepan
Karena hidup manusia selalu dipersembahkan
Pada haridepan redup di djauhan
Bagi ketentuan jang tak berketentuan
Karena tenaga dikerahkan
Untuk memutuskan belenggu
Demi kebebasan.
Tiada hentinja sepandjang djaman
Perdjuangan manusia, selalu terlibat kembali
Dari belenggu ke belenggu baru
Dari pemerasan ke pemerasan lain
Namun tiada djemu, berontak harapkan impian
Tiada bosan, melawan harapkan kemerdekaan
Tiada damai dalam diri manusia
Meluap dan menggelegak, tiada tara
Manusia selalu melawan terhadap takdir
Tak pertjaja terhadap ketentuan azali
Karena pertjaja akan tenaga sendiri
Tersimpan di balik mata redup atau tjeli
Larut dalam urat kendor atau tegang
Sembunji di balik badju bertambal dan rombeng
Menjala dalam dada tipis kerempeng
Tiada ‘kan habisnja. Setiap djaman. Dan manusia
Mendengar, melihat, menjaksikan dan menjimakkan
Pemberontakan manusia terhadap kekuasaan
Jang dalam mentjengkam diri
Dan kala aku terjaga tengah malam
Kudengar pula semangat gaib bangkit tak tertahan
Bagai lahar dalam perut gunung berapi
Semangat perdjuangan mengamang tindju ke depan
Karena harapkan kemerdekaan dan kedamaian
Bagi haridepan jang redup di djauhan
Berulang dan ‘kan berulang lagi
Manusia memberontak terhadap diri
Tjihideung, 20 Mei 1960
0 komentar:
Post a Comment