Oleh: Abe Yanlua
Pierre Felix Bourdieu seorang Profesor Sosiologi pada College de France. Lahir pada tahun 1930 di provensi Bearn, Prancis Selatan, anak seorang pegawai negeri. Ia mengenyam pendidikan di kalangan kaum elet, meski dari segi tertentu ia bukanlah bagian dari lingkungan tersebut. Sepanjang kariernya ia telah menulis lebih dari dua puluh buku dan sekitar dua ratus artikel, karya tulis Bourdieu sangat beragam mencangkup pembahasan yang sangat luas dari hal Entografi, sastra dan seni, kebudayaan, pendidikan, agama, hinga bahasa, selera dan televisi, Tidak lepas dari pengamatannya. Sala satu buah tangan Bourdieu pada akhir tahun 1930 yang berjudul Les Hereters, menjadi buku acuan bagi pemberontakan mahasiswa tahun 1968, yang menjelaskan bagkrutnya pendedikan. dalam taradisi literatur sosial tak sedikit yang meletakannya sebagai teoritis produksi yang brilian,
Walaupun di anggap sebagai ahli sosiologi yang brilian dan matang. Sosiologi Bourdieu tetap bersikap hati-hati dalam mengamati kondisi sosial, dengan coba melepaskan diri dari ideologi Individualisme maupun Subjektivisme. Di saat bertindak sebagai Ilmuan sosial, ia memberikan perhatiaan pada kesosialan (socialness) kita, pada perilaku kita atau individu-individu tertentu sebagai agen kreatif dalam proses sosial, dengan meletakan kita atau individu tertentu sebagai agen. Bagi Bourdieu, para agen interaksi sosial adalah para pelaku Strategis (Strategists), sementara ruang dan waktu merupakan segi yang integral dalam strategi mereka itu. Dalam artian Bourdieu tidak memisahkan antara individu sebagai agen, dengan ruang dan waktu sebagai praktek Strategis. Hal ini lah yang di namakan Buordieu sebagai Habitus, yang meliputi disposisi terstruktur yang pada nantinya akan menjadi dasar dari penstruktur terus-menerus.
Perkakas Habitus Bourdieu merupakan sistem yang sangat dialektis, sebagai mana ia bersabda bahwa “disatu sisi habitus berperan membentuk kehidupan sosial, sedangkan di sisi lain habitus dipandang sebagai struktur yang di bentuk oleh kehidupan sosial” misalnya bagai mana seorang dosen pada sebuah Universitas mendapatkan prestesius sebagai yang paling benar dalam disiplin Ilmu tertentu, jika mengunakan Perkakas Habitus, hal itu di sebab struktur sosial masyarakat mendelegasikannya. Akibat dari hal itu, Dosen dalam proses belajar mengajar menjadikan dirinya pemegang otoritas atas kebenar, dan merekah yang berani membantah akan di ancam dengan berupa nilai eror ataupun di persulit. Padahal Henry A. Giroux pernah meneggur para Akadimikus” bahwa akademikus di kampus-kampus bukanlah sarjana yang mendudukan dirinya secara sepihak, sebagai Intelektual eksklusif. Dan masalah ini berlangsung terus menerus karena suda mendara daging dan mengkistal menjadi kebudayaan kita, berdasarkan siapa yang memegang otoritas. Sebagaimana di jelaskan Beurdieu melalui karyanya Homo Academicus pada tahun 1984, mengambarkan otoritas sebagai pemilik modal kebudayaan (Cultur Capital).
Kesadaran Habitus yang membatin ini pulah, menyebabkan Institusi-institusi pendidikan kita sekarang terlalu sibuk dengan bentuk cara ujian, tetapi lupah menyediakan keterampilan hidup pada ranah sosial bagi parah mahasiswa dan anak-anak muda. Pendidikan telah lepas dari kontrak sosialnya, penyebab dari hal ini tak lain adalah Kapitalisme dan Neoliberalisme yang telah menerobos sistem pendidikan formal, semacam menghadirkan ambivalen pada perwajahan pendidikan kita, yang tak memiliki titik temu sebagai mana di jelaskan baca Buordieu, baca pendakuan Buordieu “ Solusi yang diajukan oleh sistem pendidikan, dengan cara ikut berperan dalam mereproduksi struktur relasi kelas sosial, tetapi lewat sikap yang tampak netral dan dengan cara menyembunyikan fakta bahwa ia menjelankan fungsinya berdasarkan relasi kuasa,”
Lihat saja hari ini para pemimpin pada beberapa Universitas dengan modal dan otoritasnya, dan dengan bangganya meyamatkan lencana pegawai perusahaan bahkan lebih dari pada itu menjadikan kampus sebagai pusat pasar komoditas. Para mahasisiwa yang bergulat dalam dunia Aktivis yang berstatus sebagai Intelektual publik, bukan lagi sebagai Intelektual publik melainkan Intelektual bayaran. Seolah pada rana pendidikan kita mereka yang memegang Otoritas atau dalam bahasa Buordieu mereka yang memiliki modal Berupa akses terhadap kultur berdasrkan modal tadi. Dengan memaksakan kultur yang seharusnya tidak sesuai degan wajah pendidikan kita. Sementara salah seorang Ilmuan kiri atau (Left-wing intellektualals) Paulo Freire, telah menggingatkan bahwa tugas seorang akademikus (Dosen, Mahasisiwa) tak lain adalah tugas pembebasan. Akademikus wajib memerdekakan literasi bangasanya.
Masuknya arus Kapitalisme dan Neoliberalisme telah benar-benar menyihir kalangan mahasiswa dan pemuda untuk ikut ambil andil di dalamnya. Bagai mana tidak mahasiswa dan pemuda dierah ini lebih banyak menggemari budaya-budaya yang lahir dari kultur Global yang mengarahkan mahasiswa dan kaum pelajar ke erah yang membuta. Habitus ini telah mengstrukturkan realitas sosial mahasiswa menjadikan, malas membaca, berpikir instan, tak tahu waktu, gemar selfil, konsumtif dan narsis. ini seolah menjungkir balikan dunia keilmuan dan kemahasiswa, Lebih jau lagi taradisi kemahasiswaan sudah tak sekental pada erah pendahulu. Dengan kultur yang begitu kental dengan tradisi yang bersifat kearah progresif dan ideal, dimana mana waktu kosong atau waktu senggag digunakan untuk, berdiskusi, literasi, dan ritual keagamaan. Pada titik inilah mungkin yang di maksut oleh Josef Pieper sabagai The are of sillence (seni bersunyi) bahwa dalam waktu kosong atau waktu senggang kita bersifat aktif tetapi “diam” diam yang “merayakan”. Jadi mari kita kembali merayakan keriangan diam dengan sekuntum kesadaran yang indah. Agara kampus dan kultur kemahasiswaan tidak hanya menjadi tempat memperkenalkan Habitus-Habitus kelas pemegang otoritas (modal).
0 komentar:
Post a Comment