Recent

28 March, 2016

Rancunya Perempuan

Oleh : Zulfikar Hafid



Pada masa jelang Hari Ibu, Desember 2015 lalu, Majalah Tempo memuat tulisan Mariana Amiruddin, DewanRedaksiJurnalPerempuan, dalam kolom Tempo Bahasa. Mariana menyoal rujukan dari peringatan Hari Ibu yang saat ini keliru dipahami oleh khalayak. Mariana menjelaskan, Hari Ibu 22 Desember bukanlah Mother's Day seperti yang diperingati oleh Barat. Peringatan ini tidaklah untuk menghargai jasa perempuan-disebut ‘ibu’ yang melahirkan dan merawat anak-anaknya. Ini tidak pulauntuk memanjakan Ibu yang selama ini telah menahan lelah "melayani" keluarganya. Hari Ibu, 22 Desember, senyatanya adalah peringatan atas turut andil perempuan-perempuan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa melalui Kongres Perempuan Indonesia I, tahun 1928. Saat itu, mayoritas peserta kongres adalah perempuan dewasa yang lazim disebut 'ibu'.

Dari penjelasan historis di atas, kata 'ibu' pada 'Hari Ibu' merujuk pada perempuan dewasa yang lazim disapa atau disebut'ibu'. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema ‘ibu’ memang memiliki beberapa makna, salah satunya adalah yang telah saya sebutkan di atas. Tanggal 22 Desember ini diperingati sebagai Hari Ibu setiap tahun karena dekrit Presiden Soekarno pada tahun 1959.Begitu penjelasan Mariana.

Terlepas dari kekeliruan rujukan peringatan tersebut, ada hal yang rancu, menurut saya. Seiring dengan semangat kesetaraan gender yang tampaknya semakin digalakkan, peringatan seperti itu, justru akan melestarikan ketidakseteraan gender. Logika saya atas hal itu, kalau memang perempuan setara dengan laki-laki, mengapa harus ada hari khusus untuk perempuan? Perlakuan seperti ini, menurut saya, bukannya melahirkan kesadaran kesetaraan gender, malah akan semakin mempertahankan paradigma bahwa perempuan adalah manusia yang memang lemah. Lemah karena selalu mendamba pengkhususan; pendambaan pengkhususan ini mengindikasikan kelemahlembutan; kelembutan ini berujung pada indikasi kelemahan. Pemikiran atas kelemahan ini akan mengokohkan perempuan menjadi objek, sehingga tidak akan tercapailah kesetaraan gender. Terlebih, jika kekeliruan pemaknaan atas pengkhususan hari peringatan telah terjadi seperti saat ini, seperti yang ditulis Mariana.Renungkan saja, karena tanggal 22 Desember dimaknai sebagai Hari Ibu atas jasanya bagi keluarga, maka, pada hari itu, Ibu dibebaskan dari pekerjaan rumah (domestik) seperti memasak, menyapu, dan mencuci piring atau pakaian. Mengapa hanya di Hari Ibu? Toh, sebenarnya, pekerjaan tersebut adalah pekerjaan semua manusia tanpa memandang jenis kelamin. Kebersihan adalah tanggung jawab dan harus ditindaki oleh siapa saja. Hal ini dapat dilihat dari penindakan atas kebersihan tubuh. Laki-laki bisa membersihkan tubuhnya sendiri, tanpa harus dibersihkan oleh perempuan, melalui aktivitas mandi. Apa bedanya membersihkan rumah, piring, atau baju dengan membersihkan tubuh? 

Begitulah. Seyakin saya, secara gender, perempuan dan laki-laki memanglah tidak patut dibedakan. Perbedaan perempuan dan laki-laki hanya dalam hal sex. Gender yang saya pahami adalah penciptaan sosial-masyarakat atas diri perempuan dan laki-laki, sementara sex adalah keadaan biologis dan fisis yang kodrati perempuan dan laki-laki. Wujud gender di antaranya, seperti, kelembutan dan kelemahan perempuan, sementara untuk sex wujudnya adalah laki-laki memiliki penis, tidak memiliki rahim dan payudara, sementara perempuan memiliki vagina, rahim, dan payudara. Jadi, simpulannya, kelemahan perempuan selama ini hanyalah konstruksi sosial, bukan kodrat. Nyatanya, ada perempuan yang bisa menjadi buruh pangkul, atlet (termasuk atlet angkat besi), juga ada perempuan yang lebih hebat dan kuat dibanding laki-laki. Ada juga laki-laki yang lebih sensitif daripada perempuan, lebih senang akan keindahan dan kebersihan, juga lebih lemah dari segi kekuatan dan keberanian daripada perempuan.

Kekuatan manusia, menurut saya, sebenarnya hanyalah persoalan pembiasaan. Seorang perempuan atau pun laki-laki, bisa melakukan hal seberat apa pun jika dibiasakan! Rancunya, kebanyakan perempuan lebih senang dipandang lemah daripada harus dipandang setara gender-nya dengan laki-laki. Ini menurut saya, karena perempuan-perempuan tersebut sudah terlanjur nyaman dengan pembodohan cukup abadi ini. Perempuan telah terlanjur senang dengan ketidakbiasaan atas kerja-kerja berat yang memerlukan kekuatan ekstra dan ketangguhan. Hal yang lebih rancu, ada komunitas perempuan yang berlabel ajaran agama tertentu berpikiran bahwa keseteraan gender telah merendahkan perempuan. Pertanyaan saya, apa rendahya setara dengan laki-laki? Komunitas tersebut berusaha meyakinkan perempuan bahwa kesetaraan gender adalah gagasan tidak benar karena merupakan produk pemikiran orang-orang yang berprinsip demokratis-liberal. Mungkin, mereka tidak menyadari bahwa mereka dapat bebas berusaha meyakinankan pemikirannyakepadaorang lain seperti ini karena penerapan sistem demokratis yang iacacidanbenci. Tapi, ini tidak berarti saya sepenuhnya setuju dengan sistem demokrasi-liberal ini, ya!

*Tulisan ini dimuat juga di Acta Diurna eLTIM FBS UNM









0 komentar:

Post a Comment