Oleh : Esye Yusuf Lapimen
Imnyung bagiku adalah seorang anak yang sangat bersahabat. Dia sering berkata kepadaku, “setiap kita, pasti berbeda-beda. Tetapi bukan untuk mencari cela masing-masing di antara perbedaan itu. Kita berbeda, sebab kita mesti saling melengkapi. Kau anak petani, aku anak nelayan. Kau hasilkan padi, aku tangkap ikannya. Kurangnya, biarkanlah Ana yang menanam sayur.” Setelahnya dia akan melanjutkannya dengan tawa.
Ana, Imnyung sering menyebut nama itu di depanku.
###
Pagi ini membuatku terasa malas. Kepala terasa berat untuk diangkat oleh tubuh ini meski hanya satu centimeter saja. Mata pun enggan memandang lebih lama. Diluar kudengar teriakan penjual nasi kuning yang tiap pagi datang di depan kosku. Bunyi lonceng sepedanya membuat suasana pagi yang dikuasai kemalasanku terasa berisik. Ingin rasanya aku memarahinya lalu melemparkan semua nasi kuning jualannya.
“Kuning, kuning... Nasi kuning. Kuning, kuning... Nasi kuning. Nasi kuning, oeeee...” teriaknya berulang-ulang, padalah seisi rumah kos telah mendengarnya.
Segera kuberdiri hendak mengusirnya. Kaki kuayunkan secepat mungkin menuruni tempat tidur. Tiba-tiba novel Paolo Coelho, “Sang Alkemis” yang telah mengantar tidurku semalam terjatuh ke lantai. Beberapa lembar foto yang sengaja aku selipkan di dalam lembarannya, ikut berserakan di lantai. Langkahku terhenti dan memungutnya kembali.
Cuma foto perempuan. Perempuan yang kerap melafalkan kalimat, “tidak ada yang merindukan kita selain kematian,” ke telingaku. Bagiku, dia telah salah. Sebab, Aku merindukannya. Jika dia benar, biarlah aku menjadi kematian itu.
Aku selalu yakin dia perempuan hebat. Mampu mengisi hidupku dengan irisan-irisan rasa sayang. Merasakan surga lebih dekat saat senyumnya menyungging di lintasan khayalku. Pandangannya mampu menyalakan tungku dalam hati yang apinya merah kekuning-kuningan. Panasnya, cukup untuk menghanguskan hasrat. Karenanya, terkadang aku tertawa cekikitan seorang diri. Setelah itu, meyumpahi kebodohan sendiri, karena tidak mampu jujur mengutarakan kehendak, padanya.
Namanya, Ana. Imnyung sering menyebut nama itu di depanku.
###
Pada kegiatan salah satu organisasi perhimpunan antara mahasiswa yang konsen membahas persoalan politik, sosial, budaya, dan sastra. Aku bertemu untuk pertama kali dengannya. Seorang perempuan yang energik, nampak tomboy, namun tetap menitipkan aura feminim pada sepasang mata yang memandanginya. Rambutnya, alisnya, bulu matanya, bola matanya, hitam. Lalu, kulitnya, giginya, putih. Sedangkan, bibirnya, pipinya, dan gusinya, kemerah-merahan.
Umurnya, dua puluh tahun. Beda dua tahun lebih muda dariku, kesukaannya ikan teri. Tetapi itu bukan tanpa alasan. Meski ikan kecil, berbadan bulat, kepala pendek, moncong runcing, punya sirip di pantat dan warna tubuh selalu pucat itu, selalu menjadi santapan ikan yang lebih besar. Baginya, ikan-ikan itu adalah kawanan yang tidak pernah patah arang, tidak pernah menyerah dan terus mencari akal untuk bertahan hidup.
Dia selalu bercerita tentang ikan teri yang bermimpi untuk hidup bebas. Ingin menikmati lautan, berbahagia bersama kawannya, ingin menikmati liburan di samudra. Namun, katanya, ikan-ikan itu tidak pernah sampai ke sana. Jangankan ke samudra, memasuki wilayah laut pun sulit. Bila ikan-ikan itu berhasil memasuki wilayah lautan, nelayan akan menangkap semuanya dengan jaring, pukat cincin, bagan tancap dan perangkap lainnya. Toh, Jika ikan-ikan itu berhasil menghindar dari nelayan. Tubuh-tubuh kecilnya belum bisa bernafas lega, dalam sekejap mereka akan habis menjadi santapan ikan-ikan yang besar.
Nah, Jika, satu atau dua bahkan lebih diantara ikan-ikan itu berhasil kabur, sudah pasti tidak akan melanjutkan perjalanan ke laut. Dipilihnya, kembali ke muara, bukan untuk merenungi kekalahan. Melainkan menyusun kembali kekuatan, beranak pinak dan membentuk kembali keluarga yang besar. Suatu saat, ikan-ikan itu akan kembali mencoba menuju laut, mewujudkan impiannya.
Dia beranggapan bahwa ikan itu tidak pernah melihat ke belakang, melainkan terus menatap jauh ke depan. Merencanakan strategi dan masa depannya, meski telah percaya bahwa kesedihan bahkan kematian sangat merindukan pertemuan. Olehnya, jalan satu-satunya adalah menemuinya. Menemuinya, bukan berarti menyerahkan hidupnya terhadap kematian itu. Dia ingin menjadi ikan teri. Bahkan, merasa telah menjadi ikan teri.
Perempuan itu bernama, Tragedi Oktramuliana. Panggilannya, Ana. Imnyung sering menyebut nama itu di depanku.
###
Kondisi ekonomi bangsa dari waktu ke waktu tidak terasa membaik. Harga kebutuhan pokok perlahan naik dan mencekik. Tiba-tiba saja tanpa terasa, harga-harga telah berada pada puncak tertinggi. Di simpang jalan kota, pengemis tiba-tiba bertambah menyentuh puncak nurani. Meski, ada larangan untuk memberinya uang, ada juga dermawan yang tersentuh tanpa takut melanggar aturan. Di kampus, harga nasi kuning untuk sarapan pagi, telah naik dua kali lipat. Di kampung tidak kalah parah. Nelayan tidak menangkap ikan lantaran bahan bakar semakin langka. Petani mengalami gagal panen lantaran ketersedian pupuk yang semakin berkurang. Akhirnya, kiriman bulanan mahasiswa pun tidak stabil.
Lagu-lagu, syair-syair, tulisan-tulisan, lukisan-lukisan, terseret untuk menggambar keadaan yang sedemikian susah. Di beberapa kota-kota besar lainnya, orang-orang yang tidak mampu mendendang lagu, melantunkan syair, menggoreskan pena, dan menggambarkan keadaan di kanvas maupun di dinding, turun ke jalan.
Mereka tumpah ruah dalam jumlah banyak, berteriak, berharap pemimpin negeri segera mundur dengan tuduhan tidak berpihak terhadap rakyatnya. Mereka mengutuk ideologi tertentu, mengepal tangan kiri kepada matahari, sementara tangan kanannya memegang minuman berkarbonasi produk luar negeri, pelepas dahaga. Aku di antaranya.
Aku diantara ribuan massa yang percaya bahwa turun ke jalan merupakan langkah yang bijak untuk membuka mata, hati dan telinga para penguasa. Sayangnya, aku dan sekian banyak lainnya, terpecah beberapa bagian. Masing-masing berteriak, menggema, menuntut, dengan caranya sendiri. Utara, timur, selatan, barat, mereka menuntut normalisasi harga, pembatalan rencana kenaikan bahan bakar minyak, serta hukum mati para koruptor negeri. Tuntutan yang diteriakkannya dibawa angin, terbang mengangkasa setinggi-tingginya, mengikuti arak-arakan awan. Bercampur. Hilang menjelma hujan, tanpa sampai di telinga penguasa.
Seminggu perjuangan, hasilnya nihil. Harga tetap melambung tinggi, bahan bakar minyak tetap dinaikkan, dan para koruptor masih bisa berkata, “semua ini untuk menyelamatkan nilai mata uang negara,”. Ya... harus diselamatkan memang. Namun, untuk siapa? Entahlah...
Aku dan lainnya, kembali ke kampus. Membentuk forum untuk mengevaluasi gerakan-gerakan yang telah kami lakukan. Membicarakan kebijakan selanjutnya, sekaligus merayakan kekalahan.
Saat itu, Imnyung sempat menawarkan gagasan untuk menyatukan massa dari berbagai elemen yang terpecah belah untuk bergerak bersama dan kembali turun ke jalan meneriakkan pembatalan kenaikan harga bahan bakar minyak. Aku selalu yakin, bahwa aku telah tahu betul jalan pikiran anak berkepala besar dan rambut geribol, anak yang sering mengatakan, “setiap kita, pasti berbeda-beda. Tetapi bukan untuk mencari cela masing-masing, di antara perbedaan itu. Kita berbeda, sebab kita mesti saling melengkapi. Kau anak petani, aku anak nelayan. Kau hasilkan padi, aku tangkap ikannya. Kurangnya, biarkanlah Ana yang menanam sayur.”
Aku terkesan atas pendapatnya, tetapi semua hal itu mustahil. Sepanjang semua elemen masih menganggap bahwa aliansinya, sekutunya, perkumpulannya, dan konco-konconyalah yang paling benar. Gagasan Imnyung hanyalah pemanis mulut. Meski aku sadar, memang kita perlu bersatu, mengorganisir diri dan tetap menyalakan semangat kebaharuan.
Tiba-tiba dari belakang, seorang perempuan mengangkat tangan menawarkan diri untuk memberikan gagasan. Aku kenal, dia perempuan yang sering disebut Imnyung di depanku, Ana. Moderator mempersilahkannya.
“Tahukah kalian mengapa ikan teri sangat ingin menembus wilayah lautan?” hadirin hanya menggelengkan kepala. lalu Ana menjawab sendiri pertanyaannya, ”sebab di sana ada kebebasan. Ikan teri, yakin harga kebebasan itu sangat mahal, bahkan dengan nyawa sekalipun. Sayangnya, ikan-ikan itu belum pernah sampai. Hidupnya hanya di perairan dekat pantai, dekat muara sungai. Di sana mereka hidup bergerombol. Tiap gerombolannya pun berpisah-pisah, berkelompok-kelompok. Ada di utara, timur, selatan, barat, mereka tidak menyatu. Masing-masing ikan dalam tiap gerombolan menyembunyikan ketakutannya. Ketakutannyalah yang membuat warna tubuhnya selalu pucat, persis seperti kami, tepatnya kalian. Bergerombol dengan kelompok-kelompoknya sendiri.”
“Maaf, Langsung pada intinya,” Moderator menyela.
“Intinya, Ikan teri tidak pernah bermimpi untuk menghimpun kekuatan besar. Menyatukan gerombolan-gerombolan mereka yang terpisah-pisah menjadi satu. Tetapi, tiap-tiap gerombolan memikirkan cara untuk menuju lautan. Menuju kebebasan. Mengapa kita terlalu memaksakan diri untuk bersatu, padahal itu sulit? Mengapa tidak fokus memelihara gerombolan ini dan berjalan menuju titik perubahan? Mengapa forum ini hanya berlangsung saat hendak turun ke jalan? Mengapa hanya berpikir untuk bersatu, bila telah terlanjur merasakan kekalahan? Mengapa tidak dari awal, kalian meneriakkan persatuan itu? Marilah kita fokus membahas perubahan secara berkelanjutan, bukan secara temporal? Terima kasih,” jelasnya.
Seisi ruangan membisu mendengar penjelasan itu. Tiba-tiba seorang menyelutuk memecah keheningan, “Pantas saja ikan teri tidak pernah menang.” Pernyataan itu mengundang tawa. Mendengarnya, perempuan tomboy itu pun kembali beraksi, dia berbicara tanpa izin moderator lagi, “itu karena kalian tidak pernah tahu apa subtansi kemenangan! Kemenangan bukan berarti kita telah membunuh musuh. Kemenangan bukan berarti telah menghunuskan pedas di perut lawan. Kemenangan bukan berarti kita memperoleh apa yang kita inginkan. Tetapi, kemenangan adalah hasil dari keberhasilan kita mengorganisir,” tutupnya.
“Saya sepakat dengan Ana,” kataku. Beberapa pasang mata, tertuju kepadaku, termasuk pasang mata perempuan tomboy itu. “Maaf, Imnyung kali ini aku dan kau berbeda. Bukankah perbedaan akan membuat kita saling melengkapi?” Mendengar kalimatku, Imnyung yang asyik mengotak-atik telepon genggamnya, menganggat kepala dan memadang kepadaku. Lalu kulanjutkan, “Kita memang butuh tenaga untuk menguatkan internal terlebih dahulu sebelum mengajak yang lain untuk bersatu. Kita memang butuh beberapa pertemuan yang serius dan berkelanjutan, bukan hanya pertemuan yang temporal yang lahir apabila kita dicubit. Kita mesti menjadi garang. Usulan saya, kita susun strategi, kita buat agitasi lewat tulisan,” sebelum mengakhiri kalimatku, kusempatkan melirik Ana. Kulihat dia mengangguk dan lainnya mengerutkan dahi.
Aku semakin takjub dengan perempuan ini. Selanjutnya, aku semakin sering menyebut namanya. Ana.
Mudah-mudahan dia pandai menanam sayur.
###
Suatu hari, Imnyung masuk ke kamar seperti kesurupan. Tangan kirinya memegang sapu, dan tangan kanan seakan-akan memetiknya. Tepatnya, menirukan gaya orang main gitar. Kepalanya digeleng-gelengkan seakana mengikuti irama, dan mata disipitkan, sambil berbisik ketelingaku, “mau makan apa kau hari ini. Aku yang traktir.”
Tumben dia ingin mentraktirku makan. “Coto sajalah,” jawabku sekenanya, tanpa bertanya lebih dahulu, angin apa yang membuatnya segirang itu?
Aku dan Imnyung segera bergegas menuju warung coto yang kami pilih. Mengenyangkan perut, setelahnya, baru kusempatkan untuk bertanya, “apa gerangan yang membuatnya begitu girang hari ini?”
“Tahu tidak, aku jadian dengannya,” katanya memulai.
“Dengan siapa? Aku baru mau tahu nih,” tanyaku lidik.
“Itu, yang itu, yang perempuan tomboy itu. Yang sering aku sebut di depanmu,” katanya
“Ana?” jawabku, dan menaruh curiga serta berharap jawabanku salah.
“Iya, tepat sekali. Dia menerima cintaku. Aku baru menemuinya dan mengungkapkan langsung kepadanya,” cerita sekehendak tanpa memperdulikan perasaanku yang sementara mulai terbakar api cemburu. Tetapi, aku mencoba untuk tetap menjadi pendengar yang setia.
“Tahu tidak, waktu aku katakan kepadanya. Dia menunduk malu, lama-lama dia menjawab pula,” ceritanya.
“Apa katanya?” tanyaku pura-pura. Meski telingaku tidak mau menerima jawabannya. “Dia bilang begini, kita jalani saja dulu kak,” jawabannya dibarengi dengan senyum. Api cemburuku makin panas.
“Terus-terus,” aku masih saja mencoba menjadi pendengar setia sekaligus menjadi penanya goblok. “Ya... aku dan dia akan menjalaninya,” katanya. Lalu bersandar di kursi dengan senyum kemenangan. Dan, aku harus tetap menghargai kemenangannya hari ini. Menjadi teman yang baik, pendengar setia meski perasaanku tidak menginginkanya.
Memang aku menaruh perhatian dengan Ana, tetapi aku tidak mampu mengucapkan perhatian itu secara langsung kepadanya. Aku hanya menikmati secara diam-diam, seperti kematian. Datang secara diam-diam, menemui kekasih yang dirindukan untuk dipinang dalam keabadian.
Aku mengakui, saat bertemu perempuan tomboy itu, aku tak mampu lagi merangkai kata walau tertatih. Padahal yang aku takuti adalah kehilangan kata. Karena kata, aku dapat melawan. Karena kata, aku dapat bercerita tantang malamku dengan cerita bulan purnama yang kesimpulannya rinduku padanya. Tidak bisa berkata jujur maupun berbohong, karena itulah aku tidak bisa menggombalnya. Sebab, gombal adalah pengabungan antara jujur dan bohong.
“Imnyung, ayo kita pulang,” Ajakku. Imnyung mengangguk, berdiri lalu menuju meja kasir. Aku terus berjalan ke luar. Aku senang karena cotonya, tetapi aku bersedih karena Ana telah menentukan pilihan. Sudahlah, bukankah senang dan sedih, akan selalu datang walaupun dihindari. Ana, kesenangan dan kesedihanlah yang setia mencintai kita, kematian yang merindukan.
“Hey, melamun. Ayo, pulang,” Imnyung memukul pundakku dari belakang. Sepintas kulihat senyum di bibirnya, diterjemahkan pahit dibenakku.
Setelahnya, aku harus berusaha melupakan nama itu. Dan, Imnyung tidak pernah lagi menyebutnya di depanku. Ana.
Dia akan menanam sayur untuk siapa?
###
Setelah pengakuan Imnyung banyak hal yang mulai terpikirkan. Sulit untuk menyebutnya satu per satu. Biarlah aku simpan sendiri sebagai koleksi pribadi. Tentunya, salah satunya adalah soal perempuan tomboy itu. Aku menghukum kebodohanku dengan mengurung diri di kamar. Enggan lagi aku melihat dunia luas. Imnyung tidak mengetahui rasa ini.
Sepertinya, perempuan itu menari-nari dialis mataku, bergelatung bak tarsan yang keriangan, tertawa cekikitan sambil sesekali memperlihatkan muka murung. Aku ingin berkata dia tomboy tapi juga manja. Itulah, penampilannya masih menitipkan aura feminim pada sepasang mata yang memandanginya. Itu pulalah yang membuat kolam rinduku terasa sejuk.
Aldi anak ibu kos menangis dan membuat gaduh suasana. Khayalanku buyar, kucoba mengintip jendela dan melihat apa yang sementara terjadi. Anak semata wayang itu semakin meraung-raung, kedua orang tuanya bergantian memeluknya dan mengharapkannya diam. Kulihat ayahnya menuju kantin samping kos, lalu membawa pulang begitu banyak makanan ringan. “Ah... anak kecil. Bila ada maunya, memang harus dituruti. Bila tidak, tangis adalah taruhannya. Anak kecil kadang terlalu ngotot, hingga harapannya tercapai,” kalimat-kalimat melintas, aku kembali ke posisi semula. “Lalu, apakah aku harus menangis karena mengharapkan Ana? Tidak. Aku bukan anak kecil lagi,” kalimat yang melintas selanjutnya, menyinggungku. Aku tidak menginginkan kalimat itu.
Seorang mengetuk pintu kamarku, segera kubuka rupanya Imnyung. “Hey, kenapa tidak ke kampus?” tanyanya saat mulai melihat batang hidungku. Aku hanya berjalan menuju posisi semula, lalu berkata, "pertama, malas. kedua, aku tidak tahu. ketiga ....." belum selesai dia langsung memotong.
"Belum dapat kiriman" Imnyung berusaha menebak. Aku mengiyakan segera, meski tebakannya salah. Aku tidak mau, Imnyung tahu semua ini karena perempuan. Wibawaku sebagai aktivitas, akan rontok di matanya. Apalagi perempuan itu, kini adalah pacarnya. Tetapi mana mungkin aku bisa menyembunyikan hal itu. Tiap melihatnya, sama halnya aku melihat Ana.
"Kenapa mukamu kusut? Mana lagunya, biasanya dangdutan orang?” Imnyung kembali berkomentar.
"Ada, tetapi aku malas dengar lagu dangdut hari ini,” kataku. Galau begini, mana mungkin dengar lagu dangdut.
"Loh... Biasanya tidak bilang begitu?"
"Terus aku bilang apa?"
"Dangdut itu kedalaman bung, bukan musiknya yang penting, tapi kedalamannya. Dengan Kedalaman maknanya yang menyentuh rasa, dengan kedalaman maknanya yang menggerakkan jiwa bukan sekadar fisik bung" katanya sambil menirukan gayaku. Aku merasa diledek. Tapi betul juga, apa yang dikatakannya adalah apa yang telah aku katakan padanya. Kini kalimat-kalimat itu telah menjadi bomerang buat diriku.
Bagiku, lagu dangdut bukan hanya menawarkan musik yang syahdu tetapi menghadirkan makna yang begitu dalam. Maka tak heran ketika mendengar lagu dangdut kita bisa terdiam, lalu termenung, mengeluarkan cairan pada bagian mata, lalu berbaring dan merasakan demam selama berhari-hari. Kata orang itu penyakit malarindu. Perpaduan antara demam malaria dan rindu. Jika demikian, tentu tidak cocok untuk aku saat ini. Sangat tidak cocok.
Lagu dangdut juga terkadang membuat kita bergoyang-goyang dengan sendirinya, mulanya diawali dengan ibu jari, lalu tangan memukul-mukul meja, tak lama kaki pun mulai bergoyang diikuti kepala, tanpa terasa badan pun berdiri dan mengikuti irama sampai lupa apa yang ada disekelilingnya. Jika demikian, lagu dangdut cocok untuk melupakan Ana. Tetapi, mana mungkin aku melupakannya, bila Imnyung di hadapanku?
“Ayolah, dangdut dulu lah,” katanya merengek.
“Baiklah,” kataku. “Tetapi aku yang pilih, bukan dangdut yang cinta-cinta,” sambungku. Imnyung mengiyakan. Rhoma irama menjadi pembuka dengan darah mudanya. kami pun bergoyang meliuk-liuk bagai penari ular.
"Kita gila ya?" katanya
"Darah muda bung, masa yang berapi-api" jawabku sekenanya
Lagu pun disusul dengan lagu kawula muda, dan berlanjut ke lagu bujangan, dan kembali lagu ke lagu darah muda. Hanya tiga lagu yang terus kami dengar. Keringat pun mengucur, rasa rindu pun meleleh.
"Dangdut memang mantap, bukan hanya makna tapi semangat" katanya.
"Engkau harus tahu Imnyung, dangdut itu adalah lagu penyemangat prajurit semasa perang merebut kemerdekaan,” kataku.
“Ah, serius kau?” tanyanya dan aku cuma tertawa. Dia tahu aku bergurau, dia pun ikut tertawa.
“Coba banyangkan, Lagu dangdut ini diputar saat perang. Dangdut akan membakar semangat juang para prajurit, di sisi lain, kompeni akan berjoget. Dan, perajurit akan menusukkan badik tepat diselangkangan mereka. Mereka tidak akan sadar, karena sihir merdu dangdut. Lalu istri selirnya di rampas. Selanjutnya, kita kirimkan lagu Meggi Z atau Imam s Arifin, maka mereka akan demam seumur hidup," kataku.
"Maka dia akan menangis dan melupakan perang" Imnyung menimpali.
“Maka dangdut akan dicatat dalam sejarah, dangdut pun turut memberikan sumbangsih dalam merebut kemerdekaan," sambungku
"Bukan, pemuda-pemuda akan mengumandangkan lagu dangdut sebagai pengganti proklamasi. Biar lebih semangat, tidak tegang,” katanya lalu dilanjut dengan tawa.
"Ah... ngawur!" kataku.
Imnyung beranjak menuju kamarnya. Begitupun dengan matahari. Sepeninggalnya, aku kembali mengingat nama perempuan tomboy itu. Ana. Sayurnya dijual saja.
###
Imnyung datang dengan langkah terburu-buru. Mukanya pucat, jelas dia sedang marah. Aku berusaha untuk mendekatinya. Dia mengusap wajahnya dan meremas rambutnya dengan kedua telapan tangannya. “Aku menamparnya?” katanya.
“Menampar siapa?” tenyaku penasaran dan mencoba untuk menenangkannya. Dirangkulnya sahabatku itu. Aku selalu tahu jalan pikirannya yang ingin selalu menyatukan perbedaan, apapun resikonya. Tetapi, kali ini tidak. “Siapa yang kau tampar?” tanyaku sekali lagi.
“Ana,” katanya sekilas.
“Ana?” tanyaku. “Mengapa Imnyung, apa dia berbuat salah yang besar?” pertanyaanku mengarah kepenyelidikan. Aku tahu, dia tidak akan menjawab saat sekarang ini. Ku ajaknya berdiri dan memasuki kamarnya.
“Semuanya berlalu begitu cepat. Mulai dari sms hingga berujung pada janji pertemuan. Petemuan yang melahirkan kedekatan, dan kedekatan itulah yang membawa kami pada sebuah kesenangan dan merasa cocok untuk tetap bersama. Hingga akhirnya, aku menyatakan ingin memilikinya selamanya. Hadir dalam setiap hidupku, memberiku senyum yang lebih banyak lagi dari yang dia berikan selama ini. Dan dia pun mengiyakan. Tetapi sekarang dia berbohong, aku tak menyangka,” katanya terisak. “Proses itu terasa lebih cepat dibandingkan denyut nadiku,” sambungnya.
“Dia berbohong bagaimana? Aku baru tahu jika Ana pandai berbohong. Tentu ada sebabnya,” kataku.
“Setahun lalu, aku menemuinya di kantin kampus sore itu. Kuliat dia menjinjing beberapa buku. Dia sedang menyusun skripsi, aku tahu, tidak lama lagi dia akan selesai mendahuluiku. Itu bukan menjadi masalah, memang aku yang terlalu malas untuk menyelesaikan kuliah. Aku sibuk tidur pagi dan malas masuk kelas, begadang semalaman, ataukah lebih memilih menghadiri kegiatan organisasi kampus, meski hanya sekadar bercakap-cakap,” Imnyung mencoba mengenang masa lalu. “Waktu itu, dia memintaku untuk membantu mencari bahan skripsinya. Aku senang dapat membantunya. Sangat beda rasanya ketika ibu atau adik perempuanku meminta bantuan terhadapku. Beberapa kali aku sempat mengantarnya ke berbagai perpusatakaan atau berusaha meminjamkan buku-buku kenalanku yang berkaitan dengan bahan skripsinya. Hingga akhirnya, skripsinya pun selesai. Aku pun juga merasakan kebahagiannya saat ujian akhirnya telah terjadwalkan,” kenangannya semakin panjang.
“Namun, ada hal aneh yang memancar dari raut mukanya kali ini. Selama aku mengenalnya, raut muka itu sulit aku maknai. Dia telah menyembunyikan sesuatu. Aku mendesaknya untuk mengatakannya dengan jujur . Akhirnya, di warung kopi, di batas kota, dia mengunkapkan hal yang begitu pahit untuk menjadi kenangan selanjutnya. Terasa, seluruh badanku waktu itu menjadi kaku. Tidak percaya akan ucapannya,” Imnyung mengusap air matanya.
“Apa katanya, Imnyung?” tanyaku mendesak dan semakin penasaran. Jangan-jangan perempuan yang juga aku idam-idamkan itu dalam bahaya besar.
“Katanya telah datang pemuda di sebelah batas kota ini, berbicara dengan orang tuanya dan hasilnya orang tuanya setuju. Pemuda itu berjanji akan membahagiakannya. Dia telah dilamar,” Imnyung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pendengaranku bagai disambar petir. Aku turut merasakan kekecewaan, dan api kecemburuan. Bagaimana pun, aku tetap merasakan kerinduan untuk perempuan tomboy itu.
“Lalu kenapa kau menamparnya, Imnyung?” tanyaku lagi.
“Aku menanyakan, mengapa dirinya menerima begitu saja. Dia menjawab, bahwa dirinya telah berusaha menyakinkan keberadaanku di hadapan keluarganya. Tetapi, kata keluarganya, aku belum sarjana. Mana mungkin dia menikah dengan orang yang belum sarjana. Inikah balasan atas bantuanku selama ini? Karena itu, aku menamparnya. Tetapi, kini aku menyesal telah menamparnya,”
Aku hanya terdiam
“Sebelum aku menyayanginya dua tahun yang lalu, aku telah berusaha melupakan seorang wanita yang pernah hidup dalam jiwaku. Aku meninggalkannya karena terlalu posesif. Tapi dia sangat menyayangiku, katanya. Aku kembali teringat dengannya, apakah perasaannya yang dulu sama dengan perasaanku sekarang?” Imnyung beranjak dan memasuki kamarnya.
Aku menghela nafas melihat kesakitannya. “Ana siapa lagi yang akan menyebut namamu?” batinku.
Ana. Kau telah membuat sayur tanpa bumbu.
###
Pagi ini membuatku terasa malas. Kepala terasa berat untuk diangkat oleh tubuh ini meski hanya satu centimeter saja. Mata pun enggan memandang lebih lama. Diluar kudengar teriakan penjual nasi kuning yang tiap pagi datang di depan kosku. Bunyi lonceng sepedanya membuat suasana pagi yang dikuasai kemalasanku terasa berisik. Ingin rasanya aku memarahinya lalu melemparkan semua nasi kuning jualannya.
“Kuning, kuning... Nasi kuning. Kuning, kuning... Nasi kuning. Nasi kuning, oeeee...” teriaknya berulang-ulang, padalah seisi rumah kos telah mendengarnya.
Segera kuberdiri hendak mengusirnya. Kaki kuayunkan secepat mungkin menuruni tempat tidur. Tiba-tiba novel Paolo Coelho, “Sang Alkemis” yang telah mengantar tidurku semalam terjatuh ke lantai. Beberapa lembar foto yang sengaja aku selipkan di dalam lembarannya, ikut berserakan di lantai. Langkahku terhenti dan memungutnya kembali.
Cuma foto perempuan. Perempuan yang kerap melafalkan kalimat, “tidak ada yang merindukan kita selain kematian,” ke telingaku. Bagiku, dia telah salah. Sebab, Aku merindukannya. Jika dia benar, biarlah aku menjadi kematian itu.
Hari ini adalah hari perkawinannya. Dia telah mengundangku. Namun aku malas untuk bangun dari tidurku, hingga penjual nasi kuning itu mengusik. Setelah membereskan foto perempuan itu. Aku ke kamar Imnyung, mengetuk pintunya, berharap dia terbangun. Tetapi tanpa jawaban. Aku yakin, dia berada di dalam. Sebab, tidak terkunci dari luar. Nekadku mendobrak pintu itu.
Imam Maulana. Panggilannya, Imnyung. Dia sering berkata kepadaku, “setiap kita, pasti berbeda-beda. Tetapi bukan untuk mencari cela masing-masing, di antara perbedaan itu. Kita berbeda, sebab kita mesti saling melengkapi. Kau anak petani, aku anak nelayan. Kau hasilkan padi, aku tangkap ikannya. Kurangnya, biarkanlah Ana yang menanam sayur.”
Mulutnya berbusa. Begitu rindukah kematian terhadapnya?
Imnyung, setelah rindu kematian telah terpuaskan. Kembalilah! Tetapi aku berharap, jangan hidup kembali menjadi sayur.
###
Kondisi ekonomi bangsa dari waktu ke waktu tidak terasa membaik. Harga kebutuhan pokok perlahan naik dan mencekik. Tiba-tiba saja tanpa terasa, harga-harga telah berada pada puncak tertinggi. Di simpang jalan kota, pengemis tiba-tiba bertambah menyentuh puncak nurani. Meski, ada larangan untuk memberinya uang, ada juga dermawan yang tersentuh tanpa takut melanggar aturan. Di kampus, harga nasi kuning untuk sarapan pagi, telah naik dua kali lipat. Di kampung tidak kalah parah. Nelayan tidak menangkap ikan lantaran bahan bakar semakin langka. Petani mengalami gagal panen lantaran ketersedian pupuk yang semakin berkurang. Akhirnya, kiriman bulanan mahasiswa pun tidak stabil.
Lagu-lagu, syair-syair, tulisan-tulisan, lukisan-lukisan, terseret untuk menggambar keadaan yang sedemikian susah. Di beberapa kota-kota besar lainnya, orang-orang yang tidak mampu mendendang lagu, melantunkan syair, menggoreskan pena, dan menggambarkan keadaan di kanvas maupun di dinding, turun ke jalan.
Mereka tumpah ruah dalam jumlah banyak, berteriak, berharap pemimpin negeri segera mundur dengan tuduhan tidak berpihak terhadap rakyatnya. Mereka mengutuk ideologi tertentu, mengepal tangan kiri kepada matahari, sementara tangan kanannya memegang minuman berkarbonasi produk luar negeri, pelepas dahaga. Aku tidak ada di antaranya.
Aku. Aku memilih jalan untuk menulis. Menuliskan tentang kepedihan sahabat yang ingin menyatukan gerombolan ikan teri. Menuliskan tentang kelangkahan sayur, hingga mahasiswa hanya memakan mie instan. []
Aku. Aku memilih jalan untuk menulis. Menuliskan tentang kepedihan sahabat yang ingin menyatukan gerombolan ikan teri. Menuliskan tentang kelangkahan sayur, hingga mahasiswa hanya memakan mie instan. []
0 komentar:
Post a Comment