Recent

09 January, 2016

POHON MALAM

 

Oleh : Esye Yusuf Lapimen

Rasa sayang itu seperti malam. Pekat melarutkan, sunyi membuaikan, tak bisa dibunuh dengan belati, meski ditikam berkali-kali. Olehnya, aku lebih memilih untuk memeliharanya, agar rasa sayangku terbiasa akan gelap, bersahabat sepi dalam melewati interval-interval nada perpisahan yang juga sebenarnya melahirkan nada-nada sepi.

Mungkin itulah, sejak berpisah dengannya setahun lima bulan lalu, aku selalu menghitung bintang dalam gelap, yang juga berarti, menghitung rindu yang tumbuh dari rasa sayang ini. Sebuah rasa yang dititipkan padaku sebelum ia beranjak, kini telah kukembangbiakkan dengan baik. Rasa itu tumbuh menjadi pohon subur, berakar serabut menjulur jauh ke dasar hati, punya dahan dan ranting yang kuat, tak patah karena badai, lalu berbuah rindu yang segar, agar ia datang suatu saat, memetiknya dengan senyum. Aku menyebutnya pohon malam.

Pohon yang akan terus menghasilkan buah-buah rindu. Buah yang berkhasiat untuk merawat dan menjaga kualitas cinta, meskipun melintasi waktu dan tempat. Dengan buah itu, sepasang kekasih yang saling mencinta akan awet sepanjang usia, akan terhubung sepanjang jarak. Begitulah cintaku terhadap Ana, gadis lembut, penyuka lembu. Bermata sendu, tempatku mengadu. Berbibir tipis, bersenyum manis. Hati siapa yang takkan luluh, meski watak sekeras karang.

Seringkali, ia bertanya padaku mengenai segala tingkahku selama perpisahan tengah menghitung semester. Aku menjawab, diriku setia memelihara rasa, tentu rasa yang ia titip waktu itu. Dan selalu saja, setelah percakapan panjang tanpa tatap, percakapan yang mengelana dari tema ke tema, dari waktu ke waktu yang semakin maya, menghasilkan kesimpulan yang tidak pernah berubah; merindu.

Sering pula aku bertanya tentang kabarnya di pangkal perpisahan sana. Ia menjawab, dirinya selalu melihat wajah yang mirip denganku, tentu karena wajahku selalu saja berada di lintasan khayalnya. Dan selalu saja, setelah pertanyaan panjangku yang basi, semuanya kembali pada kesimpulan; ada rindu yang mulai matang.

Suatu waktu, malam merayap pelan, sunyi setia padanya. Perbincangan maya dengannya membuahkan kesimpulan pilu yang menjadi titik balik dari segalanya. Saat itu, Ia mengalasankan jarak sebagai permakluman agar aku menerima kata perpisahan tanpa titik koordinat. Karenanya, pohon malam yang kubesarkan dari rasa sayang telah menghasilkan buah rindu yang lebat, kini berguguran.

Tak mampu aku menatap buah rindu yang merah jambu itu, seketika membusuk kecoklatan. Kuambil belati kesayanganku, aku hendak membunuh pohon itu, kutikam berkali-kali, tapi hanya hatiku yang tersayat dan menuai luka. Aku menyerah, kubiarkan pohon itu tumbuh sesukanya. Akhirnya aku hanya memungut buah-buah rindu yang berserakan. Kuperas satu persatu hingga meneteskan air rindu. Dengannya, aku ingin membuat sungai yang takkan pernah kering dari rasa-rasa rindu.


0 komentar:

Post a Comment