Recent

24 December, 2015

Ikan Teri



Oleh : Esye Yusuf Lapimen

Bayi perempuan telah lahir di Bulan Oktober. Tepat, saat ayahnya mendengarkan lagu Undangan Palsu lantunan Caca Handika. Berharap cemas, dan menunggu kabar terbaik. Kabar itu, tidak juga datang, bahkan tidak akan pernah datang tanpa dicari.

Sementara Ibunya, menyudahi kesedihan akibat ulah suaminya sendiri. Kesedihan yang terjadi dua minggu lalu. Saat seorang perempuan datang meminta tanggung jawab sang suami. Tanpa memberikan hak jawab, dia meninggalkan rumah yang memang bukan miliknya. Berikrar, bahwa dirinya telah menjanda, ada ataupun tanpa putusan pengadilan tentang status cerai antara mereka berdua. Dia ingin hidup tanpa suami, dan tak perlu ada kabar apapun untuknya, termasuk kabar kelahiran anak perempuannya.

3 Oktober 1993. Bayi itu memberikan tangisan pertama, tepat ketika hujan pertama menyapa Oktober. Tangisannya adalah pertanda ketakutan atas dunia baru yang didatanginya. Ketakutan yang kemudian disambut dengan kebahagiaan. Seminggu kemudian, ibunya memberinya nama Tragedi Okramuliana. Tragedi untuk memberi isyarat adanya luka atas kelahiran bayinya. Oktramuliana sebagai pengingat bulan Oktober, selebihnya mencari kemuliaan di tengah kepedihan. Panggilannya, Ana.

Kini, dia telah berumur dua puluh tahun. Dunia bukan lagi tempat yang baru untuknya. Ketakutannya telah diubahnya menjadi keberanian. Jika rasa takut itu muncul, dia menyebut rasa itu dengan nama lain, pengecut. Ana, gadis yang enggan melihat ke belakang, baginya melihat masa lalu, sama halnya mengenang kisah-kisah yang suram. Dia tidak tahu ataukah lupa, bahwa ada pelajaran berharga yang bisa dipetik, meskipun kisah itu sesuram penglihatan nenek tua.

Ana lebih menyukai berbicara soal ikan teri. Meski ikan kecil, berbadan bulat, kepala pendek, moncong runcing, punya sirip di pantat dan warna tubuh selalu pucat itu, selalu menjadi santapan ikan yang lebih besar. Baginya, ikan-ikan itu adalah kawanan yang tidak pernah patah arang, tidak pernah menyerah dan terus mencari akal untuk bertahan hidup.

Soal ikan ini, Ana pun sering bercanda, “ikan teri itu bertubuh pucat, kalian tahu mengapa?” Lawan bicaranya akan terdiam, lalu dia akan melanjutkan, “bagaimana tidak? Kalian makan mulai dari kepala, daging hingga tulangnya. Tentunya saja ikan itu pucat, sebab ikan itu menganggap kalian ini rakus, memakan tubuhnya tanpa menyisakan sedikitpun, kecuali dalam bentuk kotoran,” setelah itu, dia akan tertawa terbahak-bahak.

Banyak hal yang dia tahu tentang ikan teri, mulai dari kandungan zat kalsium yang tinggi dan baik untuk menunjang pertumbuhan tulang dan gigi, hingga kegiatan ekspor ikan-ikan tersebut ke beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, China dan Jepang. Suatu hari dia pernah berseloroh kepada teman-temannya, “Ikan teri mempunyai daerah penyebaran yang luas di daerah Indo-Pasifik bahkan sampai ke daerah Tahiti dan Madagaskar. Sementara di Indonesia sendiri, ikan ini hampir terdapat di seluruh wilayah perairan Indonesia,” yang mendengar spontan menggelengkan kepala, lalu berkata dalam hati, “apa pentingnya membahas itu.”

Soal Ana, teman-temannya telah tahu, jika hendak mengajaknya berbicara serius, ajaklah dia berbicara soal ikan teri terlebih dahulu. Nikmati penggalan-penggalan ceritanya tantang ikan teri yang selalu bermimpi untuk hidup bebas. Selalu ingin menikmati lautan, berbahagia bersama kawannnya, ingin menikmati liburan di samudra. Sayangnya, kata Ana, ikan-ikan itu tidak pernah sampai ke sana. Jangankan ke samudra, memasuki wilayah laut pun sulit. Bila ikan-ikan itu berhasil memasuki wilayah lautan, nelayan akan menangkap semuanya dengan jaring, pukat cincin, bagan tancap dan perangkap lainnya. Toh, Jika ikan-ikan itu berhasil menghindar dari nelayan. Tubuh-tubuh kecilnya belum bisa bernafas lega, dalam sekejap mereka akan habis menjadi santapan ikan-ikan yang besar.

Nah, Jika, satu atau dua bahkan lebih diantara ikan-ikan itu berhasil kabur, sudah pasti tidak akan melanjutkan perjalanan ke laut. Dipilihnya, kembali ke muara, bukan untuk merenungi kekalahan. Melainkan menyusun kembali kekuatan, beranak pinak dan membentuk kembali keluarga yang besar. Suatu saat, ikan-ikan itu akan kembali mencoba menuju laut, mewujudkan impiannya. “Satu hal, sepertinya yang sering kukatakan ikan-ikan itu adalah bangsa ikan yang pantang menyerah,” katanya dengan tegas sembari mengakhiri cerita. Setelah itu, ajaklah dia bercerita sesuai kebutuhan, sebelum menceritakan lebih lanjut soal ikan teri.

Pernah suatu hari, seorang temannya bertanya, mengapa dirinya hanya terus-terusan bercerita soal ikan teri yang kecil sekecil tubuhnya. Ana menjawab, “Karena ikan teri itu sama sepertiku. Mempunyai kisah yang suram. Tetapi ikan itu tidak pernah melihat ke belakang, terus menatap jauh ke depan. Merencanakan strategi dan masa depannya, meski telah percaya bahwa kesedihan bahkan kematian adalah sebuah kepastian. Makanya, jalan satu-satunya adalah melewatinya.”

Setelahnya, Ana bertanya balik, “Tahukah kamu mengapa ikan teri sangat ingin menembus wilayah lautan?” Yang ditanya hanya menggelengkan kepala. lalu Ana menjawab sendiri pertanyaannya, ”sebab di sana ada kebebasan. Ikan teri, yakin harga kebebasan itu sangat mahal, bahkan dengan nyawa sekalipun. Sayangnya, ikan-ikan itu belum pernah sampai. Hidupnya hanya di perairan dekat pantai, dekat muara sungai. Di sana mereka hidup bergerombol, menyembunyikan ketakutannya. Ketakutannyalah yang membuat warna tubuhnya selalu pucat, persis sama sepertiku.”

Sambil menepuk pundak temannya, Ana berkata; Meski kesedihan bahkan kematian adalah kepastian. Hidup bukan berarti penyerahan atasnya. Bila masih ada cara, berjuanglah dan pertahankan harapanmu. Itulah yang ikan teri lakukan. Bertahan hidup dengan cara berpindah-pindah. Dari muara ke muara lainnya. Beristrahat sejenak di bibir pantai, menetukan arah jalan yang lurus, lalu berdoa agar tidak tersesat. Jika mereka telah membentuk keluarga besar lagi, maka ikan-ikan itu akan kembali mencoba menembus wilayah lautan. Di darat, saat-saat tertentu ikan-ikan itu tidak lagi ditemukan,. Mungkin mereka sedang beristrahat di bibir pantai. Para nelayan hingga penjual akan berkilah, “saatnya bukan musim ikan teri, tunggu musim bulan depan. Mudah-mudahan banyak yang ketangkap,” ataukah mereka akan berkata, “saat ini bulan bersinar penuh, ikan-ikan pada lari sembunyi.”

“Aku adalah Ikan-ikan itu, menunggu saat yang tepat. Tidak pernah melihat ke belakang dan mengenang kisah yang suram. Selalu menatap ke depan, menyusun strategi dan harapan untuk terus maju wujudkan impian. Menuju laut. Ya... menuju laut dan membalaskan dendam ibuku” batinnya. []

0 komentar:

Post a Comment