Recent

17 July, 2017

Memahami Seni



SENI DAN MASYARAKAT

Secara teori memang mudah memahami hubungan antara masyarakat dan keseniannya. Hal ini dapat benar apabila suatu masyarakat masih merupakan suatu kesatuan monolit, keutuhan, berdasarkan tempat terbatas. Misalnya, pada masyarakat suku yang terasing. Dengan masyarakat yang demikian itu akan seger terlihat antara perilaku seorang dengan wilayah kebudayaannya. Seorang dari kanekes (baduy dalam), misalnya, segera akan dikenal sebagai warga kanekes. Dengan demikian, akan segera pula diketahui nilai dasar kebudayaan mereka dan semua sub-nilai lainnya.

Masyarakat Indonesia sekarang bergerak di kebudayaan daerah atau kesukuan menjadi kebudayaan nasional. Sedangkan, Masyarakat barat, ahli sosiologi seni jerman yang membagi seni masyarakatnya menjadi 4 golongan yaitu ; 

1 Masyarakat seni budaya elit yang merupakan masyarakat yang mempunyai segi kerohanian manusia, termasuk intelektualitas. 

2 Masyarakat seni ini anggotanya meliputi kaum terpelajar ,hanya saja kebayakan menjujung tinggi nilai profesional. Mereka inilah para lulusan akademi militer, kaum medis, kaum teknokrat, kaum pengusaha dsb. otak mereka cerdas cara berpikir mereka logis, pengetahuan mereka cukup apresiatif. 

3 Nilai seni populer rata rata memiliki nilai baku yang konvesional, mempunyai nilai pengetahuan yang baku pula, dan logika dipentingkan. Jenis film mereka adalah produk Hollywood yang baku, tontonan mereka pertunjukan konvesional yang bermutu, bacaan mereka buku.

4 masyarakat seni massa adalah masyarakat campur-aduk yang rata-rata berpendidikan rendah atau menegah. Selera seni mereka dilayani oleh produk massa seperti radio, televise, kaset, video dan masyarakat seni .


LATAR SOSIAL SENI

Sebuah karya seni ada karena seorang seniman menciptakannya.dan seniman itu selalu berasal dan hidup dari masyarakat tertentu. Namun sebelum dirinya muncul sebagai seniman, dia sebagai anggota suatu masyarakat, belajar kehidupan dari masyarakatnya. Dia di didik oleh tata nilai masyarakat. Ia mengkondisikan dirinya dengan nilai-nilai masyarakat. Misalnya dia seorang sastrawan, dia juga harus mulai belajar berkesusastraan dari sastra masyarakatnya. Seperti di sebuah sanggar atau lembaga pendidikan seni rupa yang lain.seorang seniman biasanya memulai dengan mendidik dirinya dengan kehidupan zamannya dan tradisi kesenian masyarakatnya. atau dengan cara di kenalkannya dalam pendidikan sesuai di masyarakat.

Seniman tidak harus terikat pada perangkat nilai yang di masyarakatnya. Ia bahkan dapat mengubah nilai-nilai itu. Ia dapat mengenal nilai baru yang belum di kenal masyrakatnya, dasarnya tetap bertolak dari struktur nilai yang sudah ada. Seniman juga bisa bebas dari struktur, tetapi kebebasannya tetap demi baikan idealistik strukturnya. Setiap seniman dengan seninya tetap akan mencerminkan struktur sosialnya, dalam artian tolak dari sana dan barulah kemudian memainkan kebebasan eksistensinya sebagai seniman.

SENI SEBAGAI PRODUK MASYARAKAT

Seniman adalah makhluk yang peka dan keenam dalam mendeteksi ketidak beresan pratik hidup. Seni merupakan produk masyrakatnya adalah benar sepanjang dipahami bahwa karya seni jenis tertentu itu oleh masyarakat karena memenuhi fungsi seni dalam masyarakat tersebut. Itulah gambaran keinginan bersama masyarakat, nilai-nilai yang mereka setuju bersama, nilai-nilai yang diharapkannya. Jadi seni itu produk masyarakat, karena setiap masyarakat memiliki nilai-nilai kontesknya sendiri yang mendukung seni dalam fungsi tertentu.

MASYARAKAT SEBAGAI PRODUK SENI

Seni mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, bukan semata-mata fungsi kenikmatan, keindahan bentuknya, melainkan keindahan isinya. Tetapi lembaga seni adalah lembaga dalam lingkup spiritual atau kejiwaan manusia, dekat dengan lembaga agama dan filsafat. Seni dapat dinilai mengandung kritik masyarakat dan kritik manusia, juga mengandung propaganda. Di katakan berupa kritik masyarakat karena makhluk sosial yang selalu terlibat dengan manusia lain hidup sehari-harinya. Tugas seni adalah menyempurnakan manusia. Kesempurnaan ada di alam lain yang abadi, alam,ide. Seni mempengaruhi manusia secara spiritual, dan perubahan spiritual akan mempengaruhi perubahan tindakan. kalau tidak demikian mengapa seni selalu punya peminat di lingkungan umat manusia? Seni bukannya tanpa pamrih, setidak-tidaknya ditinjau dari isinya.

SENI DALAM KONTEKS MORAL

Moral hanyalah salah satu segi saja dari kehidupan ini. Satu-satunya moralitas yang dapat dituntut dari seniman adalah kejujurannya. Seorang seniman yang melakukan penipuan dalam karya seninya akan jelas runtuh namanya sebagai seorang seniman. Seniman yang tidak punya etika seni, bisa jadi moralitasnya seorang seniman benar-benar amburadul, tetapi selama dalam berkarya jujur pada dirinya, dia otentik, asli, maka itulah moralitasnya.

SENI DAN ILMU PENGATAHUAN

Seni menyangkut penghayatan dalam sebuah pengalaman estetis, seni menghasilkan sesuatu yang belum ada menjadi ada, pendekatan seni mengarahkan pandangannya kedalam lubuk batin manusia, di sudut-sudutnya yang tersembunyi dan rahasia. Sedangkan ilmu menyangkut masalah rasional, empiris terhadap suatau objek ilmu, ilmu selalu berdasarkan apa yang sudah ada.

Seorang seniman tidak bisa memperlakukan sebagaimana seorang ilmuwan memperlakukan ilmu. tanpa ilmu seni seorang penanggapan akan mampu mengahayati karya seni secara lama, terutama berdasarkan pengalamnya dalam menghayati karya seni. Padanya akan tumbuh suatu naluri yang peka dan penghayatan karya seni. Hanya saja klau diminta penjelasan sebuah karya seni itu istimewa nilainya ,dia tak mampu secara ilmiah

SENI POLITIK

Seni dan politik sungguh bertentangan secara diametral kalau dari sisi pencarian kebenaran. Kebenaran politik amat bersifat kontekstual dan sementara, sedangkan seni bersifat umum dan kekal. Kaum politikus harus mempunyai tingkat apresiasi seni baik. Seni diciptakan bukan demi kesenangan estetis saja, tetapi menguak rahasia eksitensi dan esensi manusia yang selalu merupakan sphinx penuh teka-teki.

PERNAK-PERNIK SEJARAH SENI

Karya seni yang mencerminkan jiwa zaman, dalam arti merekam system nilai budaya zamannya, biasanya hanya terdapat dalam karya seni yang ‘’biasa’’ atau bahkan seni kecil atau seni minor. Pernak-pernik seni sejarah seni berkaitan erat dengan budaya sezaman dan setempat dari suatu masyarakat bangsa. Setiap zaman memiliki system nilai seninya sendiri. Pernak-pernik sejarah seni juga menyangkut kajian tentang perubahan system nilai seni. Adanya inovansi dari para senimannya secara internal berdasarkan tradisi seninya sendri, atau adanya pengaruh luar eksternal, dapat menimbulkan perubahan sistem nilai mengisyaratkan adanya kreativitas seniman yang ikut menentukan masa depan.

SENI DAN JARAK IDEOLOGI

Pada akhirnya seni adalah sebuah pemikiran. Kenyataan yang berlangsung di lingkungan hidup seniman adalah kenyataan yang di landasi oleh ideologi sosial masyarakat. Seniman itu sendiri hidup dalam ideologi sosial tertentu. seni menerapkan ‘’jarak ideologi’’ dapat menilai, melihat segalanya secara objektif,untuk memberikan penilaian dengan pilihan bebas nilai dalam dunia seninya yang khas miliknya, baik secara berbentuk maupun seniman lebih dekat dengan dunia filsafat dan agama, daripada ilmu, sebab dunianya adalah dunia nail, bukan fakta.

Ideologi Estetika



Eagleton melihat secara kritis sejarah perkembangan wacana estetika dari kacamata Marxis. Berdasarkan Eagleton atas telaah historisnya pada fakta bahwa peralihan dari Abad Pertengahan ke masa Modern menandai peralihan sistem pembagian kerja kebudayaan. Apabila sejak era Klasik hingga Abad Pertengahan, seni selalu muncul bersama dengan sains dan politik, berbeda dengan era Modern. Sejak era Modern, seni, sains, dan politik ditangani sebagai tiga wilayah kerja berbeda dengan disiplin yang terdefinisikan dengan rapi.

Lahirnya disiplin estetika, antara lain di tangan Baumgarten, tidak dapat di pisahkan dari gelombang konsolidasi kelas borjuis dalam melawan dominasi kelas feodal. Kelas borjuis begitu menekankan kemerdekaan individual berhadapan dengan struktur sosial feodal. Inilah yang menjelaskan, selidik Eagleton, mengapa disiplin estetika dilahirkan sebagai sains tentang pengalaman konkrit-indrawi-individual sebagai sains tentang aisthesis.



Perkembangan estetika sebagai ilmu borjuis ini memuncak, menurut Eagleton, pada estetisisme. Dalam doktrin seni untuk seni, pembagian kerja kultural antara seni, sains dan politik di tarik ke konsekuensi terjauhnya: ranah artistik menjadi otonom dari ranah fakta dan ranah nilai-nilai seni tidak bertanggung jawab pada apapun kecuali dirinya sendiri. Namun, selidik Eagleton, otonomi seni ini diraih dengan jalan yang amat sini, Kita dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, kita melancarkan kritik atas estetika, sains dan politik sebab ketiganya diresapi oleh ideologi borjuis. Kedua, kita meneruskan pencaplokan estetis atas sains dan politik dengan mengedepankan perasaan subjektif atau sensasi individual dalam berbagai lini kebudayaan.

Seni Kontemporer



Prof. Bambang Sugiharto mengungkapkan bahwa Seni adalah binatang aneh yang akrab sekali dengan kita. Meskipun akrab dengan kita, seni tak segampang dimengerti dan dipahami. Produk kesenian yang mutakhir dan paling sulit dimengeti ialah saat kita tidak paham benda-benda apa atau laku macam apa yang muncul di panggug, di museum, di galeri, dll. Semakin canggih seni, semakin sulit pula ia dipahami. 

Kesenjangan seni pada perkembangannya di pahami dalam masyarakat dengan yang sudah sangat eksklusif. Masyarakat hanya menganggap seni pada umunya hanya persoalan "keindahan" atau "keterampilan". Itulah kekurangannya jika dibandigkan dengan perkembangan dunia, karena seni terlalu banyak dikaitkan dengan keindahan, jadi kecenderungan seni menjadi urusan hiburan atau kesenangan atau juga sekedar hiasan. 

Tetaapi sebenarnya dalam prespektif akademis, seni justru makin keluar dari kerangka-kerangka keindahan. seni menjadi makin tidak indah seni mutakhir bahkan cenderung buruk. misalnya pada seni yang memamerkan mayat-mayat atau darah sebagai kesenian atau lukisan abstrak yang sebenarnya tidak memiliki letak keindahan. Semakin berkembang seni, seringkali semakin tidak jelas keindahannya. Alhasil, orang sulit mendapat inspirasi dari seni. 

Seni dianggap penting, tetapi hanya sebagai keterampilan atau skill. Seni terkadang menggali persoalan manusia. Seni tidak memberi solusi atau memberi inspirasi atau kemungkinan melihat sesuatu secara nyata. Seni penting dalam hal melukiskan kompleksitas kehidupan, kedalaman-kedalaman persoalan bagaimana manusia memaknai hidupnya atau pengalamannya yang seringkali rumit. Seni menampilkan kerumitan cinta lalu melukiskannya. Bahkan persoalan-persoalan dibalik cinta diangkat oleh berbagai jenis seni dan menampilkan perasaan-perasaan dibalik itu. Yang dibicarakan oleh seni sesungguhnya adalah kebenaran eksistensi. Hidup ini dialami sebagai apa kenyataannya. Kebenaran hidup yang rumit atau yang kompleks itulah yang kemudian diekspresikan atau dihadirkan dalam seni.

Ideologi terkait dengan Seni menurut Wolff.

Wolff memandang ideologi sebagai gagasan dan kepercayaan seseorang yang secara sistematis dihubungkan dengan berbagai kondisi material dan kehidupan aktual manusia. Ia melihat adanya kaitan yang erat antara Ideologi dengan konteks budaya dan Ideologi dengan Seni. Menurutnya, Ideologi adalah bagian dari sebuah karya seni, ideologi bukan hanya permasalahan gagasan-gagasan, milai-nilai budaya dan juga kepercayaan tetapi penjelmaannya pada lembaga-lembaga budaya seperti sekolah, gereja, geleri seni, perundang-undangan, partai politik, dan pada artefak budaya misalnya lukisan, bangunan, dsb. Disitulah Wolff melihat bahwa seni merupakan bagian dari aktivitas produk ideologis.

Di dalam Marxisme, posisi Seniman ialah sosok produsen atau pengrajin yang dikontrol oleh kecenderung sosial dan sejarah. Seniman bukanlah sosok yang ideal atau sosok yang mempunyai kebebasan atau mempunyai ide kreatif. Kemudian posisi Karya Seni disini sebagai produk yang diciptakan dengan aspek politik, sosial, dan gagasan atau pemikiran serta kepentingan lainnya. Seni bergantung pada masyarakat karena ditentukan aspek sosial dan sejarahnya. Sedangkan Masyarakat sebagai para agen ideologi yang diekspresikan jiwanya atau kepercayaannya di dalam sebuah karya seni.

Max Weber dengan konsepnya "Rasionalisasi" merujuk pada pergolakan masyarakat modern yang terfokus pada beberapa aspek, yaitu: 

1. Afficiecy: Mendapatkan hasil yang maksimal dengan usaha yang minim.

2. Predictability: Prediksi-prediksi masa depan atau bentuk dan kejadian di masa depan.

3. Calculability: Terfokus pada data numerik misalnya statistik an angka-angka.

4. Dokumanization: Teknologi sebagai alat untuk mengontrol manusia.

Weber beranggapan, rasionalisasi mengarahkan perilaku manusia agar dipandu atau diatur oleh akal pikiran dan kepraktisan dan keguaan. bukan perilaku motivasi dari adat dan agama. Ia juga mengungkapkan agama itu simetris dengan estetika. Seni dikhianati kemudian mencoba berdiri sendiri karena dalam seni, bentuk adalah hal utama. Sedangkan dalam agama, mereka malah mengendarai bentuk dan menegaskan bahwa isi atau makna merupaan hal utama.

Estetik pada mulanya ditemukan dalam bentuk simetri. Sebelum semua aspek ada, terlebih dahulu harus membentuk secara simetri. Bentuk menurut Simmel menjadi penting dalam estetika. Pada masyarakat rasional (dewasa ini), bentuk estetika cenderung asimetris karena orang-orang modern cenderung melakukan aktifitas mengulang setiap harinya secara terus menerus, kemudian produk seni yang diciptakan adalah untuk memperliatkan sesuatu di luar dari keseharian itu. Sebaliknya, masyarakat irasional memiliki bentuk estetika yang cenderung simetris untuk memperlihatkan kehidupan yang aktual.

Durkheim mengemukakan pandangannya tentang Totem sebagai karya seni dengan adanya aktifitas kelompok kecil atau individu sendiri hingga aktifitas kelompok besar atau sebuah klan. Totem dianggap ebagai kekuatan eksternal yang kemudian diekpresikan dalam simbol yang sebenarnya merujuk pada religiuitas. Kekuatan yang tidak dapat dijelaskan itulah yang kemudian dijadikan objek konkret yang diambil bentuknya. Totem berfungsi sebagai simbol atau tanda yang membedakan satu orang dengan yang lain atau kelompok satu dengan kelompok lain. Totem juga digunakan sebagai alat komunikasi antar individu dalam suatu kelompok yang mengekspresikn nilai dan koral. Durkheim menjelaskan bagaimana totem adalah bagian dari suatu kreativitas dan juga alat komunikasi bagi individu dan kelompok. Totem juga sebagai pengungkap nama, identitas, dan lambang.

Salah satu contoh kesenian yang ada di Makassar ialah Kondobuleng. Kondobuleng adalah jenis teater tradisional yang mempunyai unsur vokal, gerak, dan musik. Kondobuleng lahir dari tradisi orang Bajo, masyarakat pantai yang tinggal dan menetap di wilayah Teluk Bone. Karena daerah itu adalah daerah pantai, mereka sering menemukan bangau putih di pantai dan ada pula nelayan-nelayan dalam cerita Kondouleng. Saat ini, pertunjukan Kondobuleng bisa kita temukan di Paropo Makassar tepatnya pada sanggar I Lologading. Masyarakat disana mengklaim bahwa mereka yang menjadi pewaris pertunjukan itu. 

Menurut kepala adatnya, pertunjukan Kondobuleng hanya bisa dipentaskan oleh orang mempunyai garis keturunan dengan mereka. Itulah mengapa, generasi mereka dilatih agar kelak dapat terus membawa Kondobuleng. Kondobuleng berasal dari bahasa Bugis dan Makassar terbentuk dari 2 kata yaitu Kondo yang berarti bangau atau sejenis burung berkaki, berleher, dan memiliki paruh panjang. 

Sedangkan Buleng yang berarti putih meskipun putih dalam Bahasa Makassar adalah Kebo' tetapi buleng artinya juga putih. Pertunjukan Kondobuleng yang dibawakan Sanggar I Lologading diceriakan dengan bentuk komedi dimana ada Bangau putih, para nelayan, dan pemburu. Sanggar I Lologading menggunakan bahasa Makassar dalam pertunjukannya yang juga menjadi pengental unsur komedinya. Sanggar I Lologading tidak mempunyai naska tertulis Kondobuleng karena pertunjukan ini turun temurun dan hanya dihafalkan oleh para pemain. Saat ini, beberapa seniman ada yang menceritakan ulang Kondobuleng degan menambahkan alur cerita tetapi tidak menghilangkan peran bangau putih, nelayan, dan pemburu.

06 July, 2017

Art And Craft



Howard S becker ialah sosok pemikir sosiologis yang kelahiran di amerika. Lahir pada 18 April 1928. Telah banyak memberikan kontribusi besar pada sosiologi penyimpangan, sosiologi seni, dan sosiologi musik. Ia adalah seorang pemikir seni yang mengkaji sebuah istilah untuk menggambarkan beberapa komponen penting yang membentuk seni rupa dunia, seperti konvensi-konvensi, struktur support, institusi-institusi, produksi, konsumsi, dan distribusi karya seni, atau dapat dikenal dengan sebutan “art world”.

Becker dalam bukunya yang berjudul Art World menjelaskan bahwa seni rupa sebagai sebuah aktivitas yang merupakan aktivitas kolektif masyarakatnya. Becker juga menggunakan konsepsi Marx mengenai pembagian kerja, hanya saja Becker memberikan pandangan mengenai konvensi dalam melihat seni. Bagi Becker, konvensi ini menyediakan titik temu antara kaum humanis dan para sosiolog. Sebagaimana gagasan Familier dalam sosiologi seperti norma, aturan, pemahaman bersama, kebiasaan Folkway. Semua gagasan-gagasan dan pemahaman itu merupakan hasil-hasil dari aktivitas kooperatif (becker 1982).

Becker juga menentang beberapa ide-ide yang diantaranya adalah ide dominan tentang seniman dalam masyarakat modern eropa dibayangkan sebagai pencipta atau seniman yang terisolasi, Memproduksi karya seni sebagai ekspresi dari keunikan dan visi estetik individual yang mana bentuknya sebagai basis dari nilai sebuah karya seni.

Perspektif becker perihal estetika terbentuk dari semua aktivitas manusia, melibatkan aktivitas gabungan sejumlah orang. Melalui kerjasama mereka, karya seni yang sering kali kita lihat atau di pertunjukkan merupakan suatu proses kerja seni yang selalu menunjukkan tanda-tanda kerjasama untuk mencapai karya seni yang Artistik.

Kelahiran seorang seniman disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan karya seni seperti patung dan lukisan-lukisan yang ditujukan pada gereja-geraja untuk kepentingan ibadah dan kerohanian, dibuktikan dari banyaknya jumlah lukisan yang terdapat di gereja-gereja pada zaman itu. Saat itu sudah masuk pada zaman renaissance ala sosiologi pada abad ke 14 - akhir abad ke - 17. Pada abad ini juga disebut dengan abad pemurnian atau kelahiran kembali. Pada abad ini semua pusat kegiatan itu terdapat pada gereja-gereja karena konsep yang berkembang adalah tentang ketuhanan. Ini di buktikan dari banyaknya jumlah gereja pada abad itu. Dan juga pada abad ini pusat dari kejadiannya itu bertempat di negara italia.

Istilah ART dan CRAFT atau ARTIST dan ARTISAN. ? Barangkali sudah ada yang mulai berfikir bahwa Craft yang dikenal saat ini adalah merek keju, Jadi yang di maksud dengan ART di sini adalah seseorang yang dapat disebut sebagai genius, spontanitas, dan juga kreatif. Sedangkan CRAFT adalah pengrajin. Craft bersifat kelompok maka disebut sebagai pengrajin, ARTIST dari istilah kata ART artinya Individu dan ARTISAN itu adalah kelompok. Pada abad Renaissance para pekerja seni itu disebut dengan CRAFT (ARTISAN), sebab mereka hanya sekumpulan orang yang membuat karya seni yang telah di fikirkan oleh si ART (ARTIST) tersebut. Itulah sebabnya ARTIST ini lebih di junjung tinggi dibandingkan si ARTISAN.

PIERRE BOURDIEU seorang tokoh sosiologi, antropologi, dan public intelektual. Bourdieu ingin menjadi seorang ahli filsafat namu tak terwujud. Bourdieu lahir pada tanggal 1 agustus 1930 di negara perancis, dan wafat pada tanggal 23 januari 2002. Beliau adalah seorang pemikir seni pula, tapi pada tulisan kali ini kita hanya akan membahas tentang seni itu adalah “SELERA”. Untuk menjelaskan tentang selera bekerja secara sosiologi itu membutuhkan rumusnya tersendiri “HABITUS x MODAL + ARENA = PRAKSIS”, menariknya membahas tentang seni itu menurut selera menurut Bourdieu. Pernah kah kalian berfikir bahwa bagaimana sebuah karya seni itu dapat berhasil ?, tokoh satu ini akan menjelaskan tentang bagaimana sebuah karya seni akan berhasil yaitu dengan cara sebuah karya seni dapat berhasil, ketika budaya yang dituangkan seniman kedalam karya seninya itu identik dengan “kompetensi artistik” penonton. Penonton dapat dijabarkan sebagai individu yang memiliki persepsi yang dijelaskan sebagai masyarakat. Tapi sebelum itu antara seniman dan penonton (masyarakat) harus memiliki pengetahuan tentang sejarah/ kebudayaan.

Dimana seniman membuat karya seni yang berbentuk kode-kode budaya dan memiliki makna dan penonton menemukan makna baru. Konsep ini adalah makna dari (perang memorial dalam komunikasi). Itupun penonton dibagi menjadi dua yaitu yang awam dan yang berintelek (berpendidikan). Jika orang awam hanya dengan melihat garis besarnya saja atau bentuk jadinya saja tanpa menilai, meninjau sampai kedalamnya. Berbeda dengan kaum berpendidikan yaitu dengan melihat latar belakang story dalam karya seni itu. Itu juga karena penonton memiliki pengetahuan tentang sejarah kebudayaan yang seniman gunakan dalam karya seninya, menurut Bourdieu, seni bisa terbentuk dari adanya perbedaan kelas ketimbang pengakuan atas standar kualitas. Dalam pandangan Bourdieu modal putusan estetis, murni dari kant merupakan cerminan dari produk masyarakat di barat (Eropa) yang dominan.

Menurut prior dimensi sosiologi ala Bourdieu adalah :

Seniman dan karya seni itu adalah produksi nyata yang diproduksi oleh pekerja kebudayaan dalam kondisi sejarah khusus.

Apa yang secara luas disebut “arena sosial” dimulai dari latar sosial karya seni diproduksi, museum, sekolah seni, kota, dan rangkaian seluruh latar sosial tersebut terkait kekuasaan “arena kekuasaan” dalam memproduksi karya tersebut.

Penonton memiliki seperangkat pengetahuan budaya dan modal ekonomi yang mengarahkan sikap mereka, kecenderungan artistiknya, ketubuhannya, dan kompetensi artistiknya-singkatnya habitus mereka.

Ketiga dimensi berfungsi dalam relasinya dengan yang lain. Untuk tujuan analisi kebudayaan, Bourdieu membedakan dimensi-dimensi tersebut. Bourdieu sangat menekankan tentang pengetahuan yang ketat dan diperoleh dari bangku pendidikan yang objektif (kritikus) tentang seni.

Menurut Jenkins Bourdieu tertarik dengan ide tentang perjuangan demi pengakuan sebagai salah satu bentuk dari fundamental kehidupan sosial. Sehingga yang dipertaruhkan adalah akumulasi modal, harga diri, reputasi dan prestise. Salah satu bentuk dari pengakuan adalah selera budaya. Cara selera budaya dimobilisasi dalam perjuangan, pengakuan dan status sosial.Status sosial meliputi praksis yang menekankan dan menunjukkan kehormatan dan perbedayaan budaya yang merupakan ciri krusial dari semua stratifikasi sosial… status bisa dikonsepkan dengan gaya hidup yang terkait dengan permasalahan selera. Status dan gaya hidup merupakan totalitas dari praktik kultural seperti pakaian, tuturan, kenampakan luar dan prilaku-prilaku. Sehingga mendapatkan pengakuan-pengakuan berupa status yang dibayangkan.

Bourdieu menawarkan beberapa strategi diantaranya ialah : Strategi pertama, tergantung pada volume dan komposisi modal yang akan diproduksi dan reproduksi. Strategi kedua, dalam instrument produksi dan reproduksi memalaui hokum waris, adat, pasar tenaga kerja, sistem pendidikan yang tergantung pada relasi kekuasaan antara kelas yang ada. Meski pada dasarnya Bourdieu menolak preferensi selera dari Kant, Bourdieu cenderung reduksionis. Dan tetap memaknai ruang selera sebagai ruang yang arbitrer. Karena pada dasarnya memang dia menolak resensialisme.


BOURDIEU

Persepsi Bourdieu tentang seni menurutnya ialah “selera”. Untuk menjelaskan selera bekerja secara sosiologi, itu membutuhkan rumusnya tersendiri.

Habitus x Modal + Arena = Praksis

Habitus : atau habitat/ latar belakang sosial.

Modal : kapital (uang)

Simbolis (jenjang pendidikan/ status sosial)

Arena : tempat ‘tidak tetap”

Praksis : kenyataan

Tapi keseluruhannya itu masih memiliki makna yang lain lagi menurut Bourdieu, itu karena dalam setiap tulisannya memiliki diksi yang sangat berat.

Dalam tulisannya “outline of a sosiological theori of art perseption”. Menjelaskan tentang bagaimana sebuah karya seni itu ditanggapi oleh masyarakat sesuai selera, misalnya : seniman membuat karya seni kemudian penonton (masyarakat) menilai dan menanggapi hasil dari seniman itu, tidak dengan cara yang dengan biasa, tetapi sipenonton dibagi menjadi dua yaitu, yang awam dan berintelek (berpendidikan). Jika orang awam hanya dengan melihat garis besarnya atau bentuk jadinya saja tanpa menilai/ meninjau sampai kedalamnya. Berbeda dengan kaum berpendidikan yaitu dengan melihat latar belakang/ stori dalam karya seni itu. Itu juga karena penonton memiliki pengetahuan tentang sejarah/ kebudayaan yang seniman gunakan dalam karya senuinya. Karena seniman membuat karya seni itu menggunakan kode-kode budaya yang memiliki makna dan penonton menangkap sebuah makna baru. Sehingga antara seniman dan penonton sama-sama memiliki equilibrium yang cukup. Konsep di atas adalah makna dari perang memorial dalam komunikasi. Equilibrium adalah pengetahuan tentang sejarah/ keseimbangan.

Bourdieu sangat menekankan tentang pengetahuan yang ketat dan diperoleh dari bangku pendidikan yang objektif (kritikus). Kompetensi artistik bisa sangat beragam, namun bourdieu memilih prestise (yang diagungkan) akademisi dan kelas sosial sebagai satu-satunya faktor penentu kemampuan seseorang untuk “memahami” seni. Bourdieu banyak membahas tentang masyarakat modern dan pendidikan. Bourdieu juga mengkritik teori estetika milik immanuel kant “kritikan judgement of taste “ immanuel kant (1724-1804).

Karya seni muncul untuk mengapresiasi suatu keadaan/ kondisi tertentu. Karya seni juga sebagai peristiwa dan memori menurut Bourdieu. Menurut Nick Prior sosiologi seni ala Bourdieu itu dibagi menjadi 3 hal yang saling terkait antara Dimensi, Bentuk, dan Lokasi Yaitu :

Seniman dan Karya Seni itu adalah produksi nyata yang diproduksi oleh pekerja kebudayaan dalam kondisi sejarah khusus.

apa yang secara luas disebut “arena sosial” dimulai dari latar sosial karya seni diproduksi, museum, sekolah seni, kota, dan rangkaian seluruh latar sosial tersebut terkait kekuasaan “arena kekuasaan” dalam memperoduksi karya tersebut.

penonton memiliki seperangkat pengetahuan budaya dan modal ekonomi yang mengarahkan sikap mereka, kecenderungan artistiknya, ketubuhannya dan kompetensi artistiknya-singkatnya habitus mereka.

Ketiga dimensi berfungsi dalam relasinya dengan yang lain. Untuk tujuan analisis kebudayaan, Bourdieu membedakan dimensi-dimensi tersebut.

Bourdieu juga membahas tentang hierarki, yaitu sesuatu yang selalu menunjukkan yang di atas dan di bawah atau tinggi dan rendah. Hierarki adalah kelas yang memisahkan antara tinggi dan rendah, baik dan buruk, dan lain-lain. Dan itu juga menentukan budaya yang tinggi dan rendah bagi kaum yang memiliki hierarki, menurut Bourdieu. Serta bagaimana sosial memandang hierarki yang tinggi dan rendah. Dan belum cukup sampai disitu Bourdieu membahas tentang hierarki dalam hierarki. Maksud dari hierarki dalam hierarki adalah perbedaan kelas dalam kelasnya sendiri hingga membentuk satu yang tertinggi dan terendah, itu mungkin saja menurut Bourdieu.

Menjelaskan kelas klasifikasi kebudayaan tinggi dan rendah, merupakan manifestasi dari realitas relasi kelas. Kebudayaan huruf besar diciptakan oleh karna adanya kekuasanaan dan kebudayaan huruf kecil adalah kenyataan yang dinikmati sekarang ini. Garis besar dari teori perspektif sosiologi Bourdieu ini adalah mengemukakan serangkaian pernyataan tentang cara terbaik untuk memahami hubungan antara kompetensi artistik dan stratifikasi.

18 March, 2017

Segala, Segala



Pengarang : Sutan Takdir Alisjhabana 

Ani, ya Aniku Ani,
Mengapa kamas engkau tinggalkan?
Lengang sepi rasanya rumah,
Lapang meruang tiada tentu.


Buka lemari pakaian berkata,
Di tempat tidur engkau berbaring,
Di atas kursi engkau duduk,
Pergi ke dapur engkau sibuk.


Segala kulihat segala membayang,
Segala kupegang segala mengenang


Sekalian barang rasa mengingat,
Sebanyak itu cita melenyap.


Pilu sedih menyayat di kalbu,
Pelbagai rasa datang merusak.

20 April 1935

15 March, 2017

Sesudah Dibajak




Pengarang : Sutan Takdir Alisjahbana

Aku merasa bajakMu menyayat,
Sedih seni mengiris kalbu,
Pedih pilu jiwa mengaduh,
Gemetar menggigil tulang seluruh.

Dalam duka semesra ini,
Beta papa, apatah daya?
Keluh hilang di sawang lapang,
Aduh tenggelam dibisik angin.

Ya Allah, ya Rabbi,
Hancurkan, remukkan sesuka hati,
Sayat iris jangan sepala.

Umat daif sekedar bermohon:
Semai benih mulia raya
Dalam tanah sudah dibajak.

1 Mei 1935

Seindah Ini



Pengarang : Sutan Takdir Alisjahbana 

      Tuhan,
      Terdengarkah kepadamu himbau burung di hutan
sunyi meratapi siang di senja hari?
      Remuk hancur rasa diri memandang sinar lenyap
menjauh di balik gunung.
      Perlahan-lahan turun malam menutupi segala pan-
dangan.
                                    *
      Menangis, menangislah hati!
      Wahai hati, alangkah sedap nikmatnya engkau pandai
menangis!
      Apa guna kutahan, apa guna kuhalangi?
                                    *
      Aku terima kasih kepadamu, Tuhan, memberiku hati
tulus-penyerah seindah ini:
            Sedih pedih menangis, waktu menangis!
            Girang gembira tertawa, waktu tertawa!
            Marak mesra bercinta, waktu bercinta!
            Berkobar bernyala berjuang, waktu berjuang!

10 Agustus 1937
Dari: Pujangga Baru, Agustus, 1937