Penulis : Sujiwo Tejo
Tidak Pancasilais itu membuat toilet, tapi tak dilengkapi semprotan.
Baik di toilet gedung DPR maupun di toilet-toilet masyarakat alias toilet non-DPR, keberadaan alat penyemprot mutlak diperlukan.
Semprotan tidak melulu penting untuk menghalau demo mahasiswa dan kaum buruh.
Lagi pula apa dosanya bersih-bersih pakai semprotan air? Toh ujung-ujungnya air balik lagi ke tanah. Air beda dibanding pajak. Dari rakyat, pajak belum tentu balik ke rakyat. Air sudah jelas, dari tanah kembali ke tanah. Entah nurun siapa, tapi sudah begitulah sifat air.
Lagian bersih-bersih pakai kertas itu menghabiskan hutan. Mending kertas dipakai buat koran walau jerih payah Wartawan pada akhirnya cuma untuk bacaan di atas kloset.
Masih lebih sopan menjadikan tisu toilet sebagai tisu makan di warung-Warung Tegal. Kita menghargai bidang kerja menteri kehutanan sebagai pembersih mulut, bukan pembersih anu.
Lalu ini: Mengharuskan duduk di setiap kloset juga tidak Pancasilais. Seluruh Warga negara, lebih-lebih anggota DPR, harus boleh jongkok. Satu-satunya yang tidak boleh jongkok di negeri ini cuma IQ.
Jangan sampai di negara merdeka jumlah semprotan makin sedikit dibanding jumlah sempritan di berbagai bidang termasuk bidang perwasitan di bidang sepak bola.
Sedikit-sedikit disemprit. Sedikit-sedikit menyemprit. Padahal nama yang hampir sama saja, yaitu burung emprit, sudah semakin jarang. Bukankah itu suatu pertanda bahwa di era keterbukaan ini sebaiknya sempritan agak dikurang-kurangilah.
Masa’ enak-enak di jalan, tahu-tahu disemprit karena ada yang mau lewat. Sama-sama nggak enak di jalan, karena sama-sama macet, eh tahu-tahu disemprit juga suruh menyisih karena ada yang mau menerobos kemacetan.
Masih lebih bagus penyiar televisi, kalau ada yang mau lewat, yaitu iklan. Kita justru tidak boleh pergi. Kita justru harus diem di tempat. “Jangan ke mana-mana,” begitu biasanya diucapkan oleh wajah-Wajah manis di layar kaca.
Kapan ya para pengawal petinggi negara itu bertindak lebih ramah atau setidaknya sama ramahnya dengan para penyiar televisi?
Saking ramahnya para penyiar manis-manis itu sampai-sampai para suami mereka betah berhangat-hangat di kamar. Konon karena mereka selalu merajuk ke para suami, “Jangan ke mana-mana…Jangan ke mana-mana…”
Aih, betapa sumringahnya hidup semacam itu. Tak boleh pergi ke lain tempat karena dicintai, bukan karena tak dipercaya.
Lain halnya hubungan rakyat dengan wakilnya di DPR. Tak ada saling percaya lagi. Sudah jelas-jelas dinyatakan bahwa Rp 2 miliar lebih biaya renovasi toilet itu bukan untuk satu toilet, namun untuk 220-an toilet di Senayan, tetap saja kami-kami ini tak mau dengar.
Menurut saya kok dalam kasus toilet DPR ini semua pihak salah. Bawahan, yaitu wakil rakyat, salah. Ketuanya, yaitu rakyat, juga bersalah.
Tidak semua hal bisa diwakilkan, kan? Tapi, wakil rakyat merasa bahwa segala hajat orang banyak termasuk perkara buang hajat besar dapat mereka wakili. Maka ketika masuk ke toilet, para anggota DPR merasa sedang sungguh-sungguh mewakili rakyat dalam ikhwal membuang tinja rakyat. Anggota DPR menganggap rakyat tak akan ambil pusing dengan segala biaya toilet yang menyangkut kepentingan rakyat sendiri.
Padahal jelas-jelas urusan “plung” adalah urusan pribadi para anggota parlemen. Rakyat sama sekali tidak ikut bagian enaknya, yaitu lobi-lobi anggaran di Hotel Mulia, Sultan, dan lain-lain, sambil makan-makan.
Tapi, rakyat juga keliru. Sudah jelas-jelas mereka tahu bahwa urusan buang air kecil maupun air besar adalah urusan yang tak bisa diwakil-wakilkan. Sebesar apa pun biaya pemugaran toilet itu tak masalah. Toh rakyat sendiri yang pakai. Mereka bisaramai-ramai datang sendiri ke toilet-toilet Gedung DPR Senayan untuk mengeluarkan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Saya sih mau-mau saja ikutan, asal toiletnya pakai semprotan.
Sujiwo Tejo
Buku: Republik #Jancukers
Penerbit: Kompas
Tidak Pancasilais itu membuat toilet, tapi tak dilengkapi semprotan.
Baik di toilet gedung DPR maupun di toilet-toilet masyarakat alias toilet non-DPR, keberadaan alat penyemprot mutlak diperlukan.
Semprotan tidak melulu penting untuk menghalau demo mahasiswa dan kaum buruh.
Lagi pula apa dosanya bersih-bersih pakai semprotan air? Toh ujung-ujungnya air balik lagi ke tanah. Air beda dibanding pajak. Dari rakyat, pajak belum tentu balik ke rakyat. Air sudah jelas, dari tanah kembali ke tanah. Entah nurun siapa, tapi sudah begitulah sifat air.
Lagian bersih-bersih pakai kertas itu menghabiskan hutan. Mending kertas dipakai buat koran walau jerih payah Wartawan pada akhirnya cuma untuk bacaan di atas kloset.
Masih lebih sopan menjadikan tisu toilet sebagai tisu makan di warung-Warung Tegal. Kita menghargai bidang kerja menteri kehutanan sebagai pembersih mulut, bukan pembersih anu.
Lalu ini: Mengharuskan duduk di setiap kloset juga tidak Pancasilais. Seluruh Warga negara, lebih-lebih anggota DPR, harus boleh jongkok. Satu-satunya yang tidak boleh jongkok di negeri ini cuma IQ.
Jangan sampai di negara merdeka jumlah semprotan makin sedikit dibanding jumlah sempritan di berbagai bidang termasuk bidang perwasitan di bidang sepak bola.
Sedikit-sedikit disemprit. Sedikit-sedikit menyemprit. Padahal nama yang hampir sama saja, yaitu burung emprit, sudah semakin jarang. Bukankah itu suatu pertanda bahwa di era keterbukaan ini sebaiknya sempritan agak dikurang-kurangilah.
Masa’ enak-enak di jalan, tahu-tahu disemprit karena ada yang mau lewat. Sama-sama nggak enak di jalan, karena sama-sama macet, eh tahu-tahu disemprit juga suruh menyisih karena ada yang mau menerobos kemacetan.
Masih lebih bagus penyiar televisi, kalau ada yang mau lewat, yaitu iklan. Kita justru tidak boleh pergi. Kita justru harus diem di tempat. “Jangan ke mana-mana,” begitu biasanya diucapkan oleh wajah-Wajah manis di layar kaca.
Kapan ya para pengawal petinggi negara itu bertindak lebih ramah atau setidaknya sama ramahnya dengan para penyiar televisi?
Saking ramahnya para penyiar manis-manis itu sampai-sampai para suami mereka betah berhangat-hangat di kamar. Konon karena mereka selalu merajuk ke para suami, “Jangan ke mana-mana…Jangan ke mana-mana…”
Aih, betapa sumringahnya hidup semacam itu. Tak boleh pergi ke lain tempat karena dicintai, bukan karena tak dipercaya.
Lain halnya hubungan rakyat dengan wakilnya di DPR. Tak ada saling percaya lagi. Sudah jelas-jelas dinyatakan bahwa Rp 2 miliar lebih biaya renovasi toilet itu bukan untuk satu toilet, namun untuk 220-an toilet di Senayan, tetap saja kami-kami ini tak mau dengar.
Menurut saya kok dalam kasus toilet DPR ini semua pihak salah. Bawahan, yaitu wakil rakyat, salah. Ketuanya, yaitu rakyat, juga bersalah.
Tidak semua hal bisa diwakilkan, kan? Tapi, wakil rakyat merasa bahwa segala hajat orang banyak termasuk perkara buang hajat besar dapat mereka wakili. Maka ketika masuk ke toilet, para anggota DPR merasa sedang sungguh-sungguh mewakili rakyat dalam ikhwal membuang tinja rakyat. Anggota DPR menganggap rakyat tak akan ambil pusing dengan segala biaya toilet yang menyangkut kepentingan rakyat sendiri.
Padahal jelas-jelas urusan “plung” adalah urusan pribadi para anggota parlemen. Rakyat sama sekali tidak ikut bagian enaknya, yaitu lobi-lobi anggaran di Hotel Mulia, Sultan, dan lain-lain, sambil makan-makan.
Tapi, rakyat juga keliru. Sudah jelas-jelas mereka tahu bahwa urusan buang air kecil maupun air besar adalah urusan yang tak bisa diwakil-wakilkan. Sebesar apa pun biaya pemugaran toilet itu tak masalah. Toh rakyat sendiri yang pakai. Mereka bisaramai-ramai datang sendiri ke toilet-toilet Gedung DPR Senayan untuk mengeluarkan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Saya sih mau-mau saja ikutan, asal toiletnya pakai semprotan.
Sujiwo Tejo
Buku: Republik #Jancukers
Penerbit: Kompas
0 komentar:
Post a Comment