Semakin Memberi Semakin
Penuh
Kenangan kepada Ibu di masa
susah Jepang
Ketika kesengsaraan bagai semut hitam beriringan di
malam kelam, memasuki gubuk kami anak-beranak.
Ketika semua kami terlelap dalam tidur; padahal kami
terbaring lantaran hangatnya pelukan rasa tak berdaya
dalam lapar. Ibu kami menatap misteri malam tak memejam
mata, tak membaring tubuh; ibu bak singa yang
waspada… Ketika pagi tiba, seutas cincin emas
peninggalan ayah ibu lepas buat mengisi gentong beras
yang menganga bagai perut-perut kami yang kosong. Saat
beras ditanak; aneh terasa bangkit bulan di tengah
kelamnya gubuk. Dengan cerah pagi merayap
di bubungan…
Siang. Bau beras yang beranjak matang di dapur
ditingkah bau asap ikan-ikan terbang sekeras kayu
buangan dari gudang-gudang ransum serdadu Jepang
kami santap lahap bagai ular-ular menerkam tikus.
Seakan kami sedang menyantap daging dan hati ibu yang
tak lagi berair mata namun berdarah. Ibu belum juga
mengunyah apa-apa di saat seorang laki-laki tua menatap
kami lewat pintu gubuk. Ia jelas juga lapar tak
meminta lewat tangan tapi dari sisa-sisa sinar mata tua.
Ibu menghampirinya dan menyerahkan nasi dan ikan
jatahnya siang itu.
Semua kami menatap ibu dan ibu tahu kami sedang
bertanya: “Kenapa memberi di saat kita kekurangan?
Berapa malam lagi gentong beras bakal kosong dan
semua kita lapar lagi?” Ibu singa yang waspada itu
merapatkan hangat tubuhnya di antara kami, merangkul
pundak-pundak dan meraba ubun-ubun kami.
Diucapkannya kata: “Karena kalian bukan gentong
beras, anak-anakku, maka memberilah! Semakin kalian
memberi semakin kalian penuh…”
Telah lama ibu memenuhi panggilan Tuhan tapi ia masih
di sini; merapatkan hangat tubuhnya di usia-usia tua
nasib kami; memancing bulan ke dalam gubuk-gubuk
sederhana anak-cucu.
Di perkampungan buruh KPM,
di mana kami dilahirkan dan dibesarkan, Makassar, 1975.
0 komentar:
Post a Comment