Oleh : Esye Yusuf Lapimen
Laela
Di teras. Setelah membaca secarik kertas. Senyum Laela membekas. Jiwanya terasa lepas. Terbang mengangkasa setinggi-tingginya, melewati arak-arakan awan, jauh, tanpa ambang batas. Secarik kertas bertuliskan kalimat tegas. Tentang ungkapan rasa yang memanas.
Tentu saja itu bukan surat. Sebab, diberikan dengan jarak dekat. Kalimat-kalimat yang tertulis sangat sederhana, tetapi tergambar akurat. Sang penulis telah berhasil melukiskan hasratnya dengan kuat. Setelah dibaca, kertas itu dilipat. Digenggamnya dengan erat.
Laela beranjak menuju kamarnya. Ada hasrat ingin membalas kalimat-kalimat yang telah dituliskan untuknya. Tetapi, dia bingung bagaimana cara memulainya? Beberapa kata melewati benak, tetapi semua buruk untuknya. Dia ingin kata awal yang digunakan adalah, kata yang sangat mewakili rasanya. Dia berpikir sekuat-kuatnya. Berkhayal sejauh-jauhnya, mencari kata secocok-cocoknya.
Laela pasrah. Dia merasa kalah. Tetapi, segera ditepisnya jauh-jauh. Dia berdalih “Kalimat-kalimat itu sulit kubalas, sebab umurku terlampau jauh dengannya.”
Cimmeng
Matahari mulai bersinar secara perlahan. Cimmeng menurunkan hasil tangkapan. Di pinggir sungai telah banyak orang menunggu hasil dari luasnya lautan. Seperti biasa, setelah Cimmeng telah selesai menurunkan semua ikan. Ibunya, akan datang meladeni orang-orang yang menunggu, kepadanya ikan-ikan itu dilelang dengan berbagai penawaran.
Setelahnya, Cimmeng pulang ke rumah untuk mandi sebersih-bersihnya. Lalu, tidur senyenyak-nyenyaknya. Siang, dia akan ke sawah ataukah ke kebun membantu ayahnya. Dia bekerja seulet-uletnya. Sayangnya, Cimmeng tidak perdulikan jenjang pendidikannya.
Seharusnya, Cimmeng duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas. Hanya saja, setamat sekolah menengah pertama, dia harus menerima realitas. Bila hendak lanjut ke jenjang berikutnya, dia harus berangkat pagi buta menaiki angkutan pedesaan dengan gegas. Sebab, desanya tidak mempunyai sekolah menengah atas.
Apalagi keluarga Cimmeng, bukanlah keluarga yang berada. Mereka hanya keluarga nelayan yang biasa. Meski mereka punya tanah berupa kebun dan sawah yang selalu diurus dan dijaga. Sebenarnya, Bisa saja, salah satu tanah itu dijual kepada orang lain ataupun kepada sanak saudara. Lalu, uangnya dibelikan sepeda motor agar Cimmeng dapat bersekolah seperti anak lainnya. Itu tidak terjadi, karena Cimmeng sendiri yang menolaknya. Baginya, untuk apa dirinya bersekolah sejauh-jauhnya, tanpa tujuan sejelas-jelasnya. Lebih baik bekerja sebaik-baiknya, dengan hasil secukup-cukupnya. “Apalagi A sampai Z telah di kepala,” katanya.
Berbeda dengan Laela, keluarganya cukup terpandang. Ayahnya punya beras segudang. Urusannya lancar dengan uang. Keingingannya sulit terbendung. Hanya sadar bila tersandung. Saat pemilihan kepala desa, ayahnya menang.
Laela sendiri telah duduk dibangku kelas tiga sekolah menengah atas. Dia telah dibelikan sepeda motor agar ke sekolah dengan bebas. Tidak lagi berangkat pagi buta menaiki angkutan pedesaan dengan gegas. Di ruang kelas, Laela cerdas. Di luar kelas, laela periang, tidak pamer, dan berhati tegas.
Diam-diam Cimmeng menyukai Laela. Sering kali dia hendak mengajak Laela berbicara. Tetapi urat-urut mulutnya tiba-tiba kaku saat matanya bersua. Selanjutnya, sepasang matanya hanya asyik menikmati kulit sawo matang milik Laela. Hidung mancung milik Laela. Bulu mata lentik milik Laela. Rambut tergerai milik Laela. Dan, senyuman milik Laela. Tetapi rasa jijik tumbuh di kepalanya. Sebab, dia hanya pecinta yang tidak mampu berkata.
Sering kali, dia ingin menuliskan kalimat-kalimat indah untuk mewakili ucapannya. Hal tersebut tidak pernah diwujudkan, sebab pekerjaan menyibukkannya.
Zakariah
Sebentar lagi Zakariah akan menyelesaikan kuliahnya. Dia akan pulang dengan nama baru, Zakariah sarjana sastra. Membawa kegembiraan untuk keluarganya. Tetapi, tidak untuk Cimmeng dan hatinya.
Sebab, lelaki itulah yang telah memantik api. Menghanguskan naluri. Lalu, semuanya berakhir sepi. Dari diri hingga hati. Sebenarnya hal itu telah lama terkubur mati. Semantara Cimmeng telah lama menyimpan luka itu dalam peti. Tetapi, jika lelaki itu kembali. Kedua lelaki itu akan menghidupkan kembali kematian untuk bertarung dengan belati.
Sebelum kedatangannya. Cimmeng harus segera berbicara dengan Laela selembut-lembutnya. Olehnya, dia harus berlatih mengolah suara sebaik-baiknya. Otot-otot rahang yang kaku harus seluwes-luwesnya. Agar tidak menghasilkan suara sekasar-kasarnya. Dan, Laela dapat paham seyakin-yakinnya. Lalu, dia akan bersorak segembira-gembiranya.
Akan tetapi, Cimmeng kalah selangkah. Saat suaranya sementara dia olah. Datanglah Zakariah. Meski hanya sehari, tetapi dia telah berulah. Zakariah mengajak Laela bertemu di jembatan gantung, saat sore sebelum matahari berlabuh. Dititipkannya secarik kertas bertulis kalimat indah. Lalu berpesan, “bacalah saat di rumah.” Laela tersenyum dan pipinya memerah.
Dari ujung sungai yang berbatasan dengan muara. Di perahu miliknya. Cimmeng melihatnya dengan kedua bola mata. Api telah meyala dalam dada.
Cimmeng
Suatu sore, Cimmeng sengaja menanti Laela di jembatan gantung, tempat terakhir dia melihatnya bersama Zakariah. Biasanya, Laela akan lewat sepulang sekolah. Dia akan meminta Laela untuk singgah. Tetapi, Penantian terlampau lama hingga membuatnya gundah. Langit telah memerah.
Saat dia hendak beranjak. Jembatan gantung bergerak. Spontan dia melirik. Laela baru saja balik.
“Laela, berhenti”. Mendengar itu, Laela tidak langsung berhenti. Berbahaya bila berhenti di tengah jembatan gantung yang terus menari. Sesampai di ujung, Laela berbalik, lalu memanggil “Cimmeng ke sini”. Yang dipanggil berlari-lari.
“Ada apa?”
“Hmmm... ada yang ingin aku katakan...” belum sempat dia lanjutkan, naluri
Di teras. Setelah membaca secarik kertas. Senyum Laela membekas. Jiwanya terasa lepas. Terbang mengangkasa setinggi-tingginya, melewati arak-arakan awan, jauh, tanpa ambang batas. Secarik kertas bertuliskan kalimat tegas. Tentang ungkapan rasa yang memanas.
Tentu saja itu bukan surat. Sebab, diberikan dengan jarak dekat. Kalimat-kalimat yang tertulis sangat sederhana, tetapi tergambar akurat. Sang penulis telah berhasil melukiskan hasratnya dengan kuat. Setelah dibaca, kertas itu dilipat. Digenggamnya dengan erat.
Laela beranjak menuju kamarnya. Ada hasrat ingin membalas kalimat-kalimat yang telah dituliskan untuknya. Tetapi, dia bingung bagaimana cara memulainya? Beberapa kata melewati benak, tetapi semua buruk untuknya. Dia ingin kata awal yang digunakan adalah, kata yang sangat mewakili rasanya. Dia berpikir sekuat-kuatnya. Berkhayal sejauh-jauhnya, mencari kata secocok-cocoknya.
Laela pasrah. Dia merasa kalah. Tetapi, segera ditepisnya jauh-jauh. Dia berdalih “Kalimat-kalimat itu sulit kubalas, sebab umurku terlampau jauh dengannya.”
Cimmeng
Matahari mulai bersinar secara perlahan. Cimmeng menurunkan hasil tangkapan. Di pinggir sungai telah banyak orang menunggu hasil dari luasnya lautan. Seperti biasa, setelah Cimmeng telah selesai menurunkan semua ikan. Ibunya, akan datang meladeni orang-orang yang menunggu, kepadanya ikan-ikan itu dilelang dengan berbagai penawaran.
Setelahnya, Cimmeng pulang ke rumah untuk mandi sebersih-bersihnya. Lalu, tidur senyenyak-nyenyaknya. Siang, dia akan ke sawah ataukah ke kebun membantu ayahnya. Dia bekerja seulet-uletnya. Sayangnya, Cimmeng tidak perdulikan jenjang pendidikannya.
Seharusnya, Cimmeng duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas. Hanya saja, setamat sekolah menengah pertama, dia harus menerima realitas. Bila hendak lanjut ke jenjang berikutnya, dia harus berangkat pagi buta menaiki angkutan pedesaan dengan gegas. Sebab, desanya tidak mempunyai sekolah menengah atas.
Apalagi keluarga Cimmeng, bukanlah keluarga yang berada. Mereka hanya keluarga nelayan yang biasa. Meski mereka punya tanah berupa kebun dan sawah yang selalu diurus dan dijaga. Sebenarnya, Bisa saja, salah satu tanah itu dijual kepada orang lain ataupun kepada sanak saudara. Lalu, uangnya dibelikan sepeda motor agar Cimmeng dapat bersekolah seperti anak lainnya. Itu tidak terjadi, karena Cimmeng sendiri yang menolaknya. Baginya, untuk apa dirinya bersekolah sejauh-jauhnya, tanpa tujuan sejelas-jelasnya. Lebih baik bekerja sebaik-baiknya, dengan hasil secukup-cukupnya. “Apalagi A sampai Z telah di kepala,” katanya.
Berbeda dengan Laela, keluarganya cukup terpandang. Ayahnya punya beras segudang. Urusannya lancar dengan uang. Keingingannya sulit terbendung. Hanya sadar bila tersandung. Saat pemilihan kepala desa, ayahnya menang.
Laela sendiri telah duduk dibangku kelas tiga sekolah menengah atas. Dia telah dibelikan sepeda motor agar ke sekolah dengan bebas. Tidak lagi berangkat pagi buta menaiki angkutan pedesaan dengan gegas. Di ruang kelas, Laela cerdas. Di luar kelas, laela periang, tidak pamer, dan berhati tegas.
Diam-diam Cimmeng menyukai Laela. Sering kali dia hendak mengajak Laela berbicara. Tetapi urat-urut mulutnya tiba-tiba kaku saat matanya bersua. Selanjutnya, sepasang matanya hanya asyik menikmati kulit sawo matang milik Laela. Hidung mancung milik Laela. Bulu mata lentik milik Laela. Rambut tergerai milik Laela. Dan, senyuman milik Laela. Tetapi rasa jijik tumbuh di kepalanya. Sebab, dia hanya pecinta yang tidak mampu berkata.
Sering kali, dia ingin menuliskan kalimat-kalimat indah untuk mewakili ucapannya. Hal tersebut tidak pernah diwujudkan, sebab pekerjaan menyibukkannya.
Zakariah
Sebentar lagi Zakariah akan menyelesaikan kuliahnya. Dia akan pulang dengan nama baru, Zakariah sarjana sastra. Membawa kegembiraan untuk keluarganya. Tetapi, tidak untuk Cimmeng dan hatinya.
Sebab, lelaki itulah yang telah memantik api. Menghanguskan naluri. Lalu, semuanya berakhir sepi. Dari diri hingga hati. Sebenarnya hal itu telah lama terkubur mati. Semantara Cimmeng telah lama menyimpan luka itu dalam peti. Tetapi, jika lelaki itu kembali. Kedua lelaki itu akan menghidupkan kembali kematian untuk bertarung dengan belati.
Sebelum kedatangannya. Cimmeng harus segera berbicara dengan Laela selembut-lembutnya. Olehnya, dia harus berlatih mengolah suara sebaik-baiknya. Otot-otot rahang yang kaku harus seluwes-luwesnya. Agar tidak menghasilkan suara sekasar-kasarnya. Dan, Laela dapat paham seyakin-yakinnya. Lalu, dia akan bersorak segembira-gembiranya.
Akan tetapi, Cimmeng kalah selangkah. Saat suaranya sementara dia olah. Datanglah Zakariah. Meski hanya sehari, tetapi dia telah berulah. Zakariah mengajak Laela bertemu di jembatan gantung, saat sore sebelum matahari berlabuh. Dititipkannya secarik kertas bertulis kalimat indah. Lalu berpesan, “bacalah saat di rumah.” Laela tersenyum dan pipinya memerah.
Dari ujung sungai yang berbatasan dengan muara. Di perahu miliknya. Cimmeng melihatnya dengan kedua bola mata. Api telah meyala dalam dada.
Cimmeng
Suatu sore, Cimmeng sengaja menanti Laela di jembatan gantung, tempat terakhir dia melihatnya bersama Zakariah. Biasanya, Laela akan lewat sepulang sekolah. Dia akan meminta Laela untuk singgah. Tetapi, Penantian terlampau lama hingga membuatnya gundah. Langit telah memerah.
Saat dia hendak beranjak. Jembatan gantung bergerak. Spontan dia melirik. Laela baru saja balik.
“Laela, berhenti”. Mendengar itu, Laela tidak langsung berhenti. Berbahaya bila berhenti di tengah jembatan gantung yang terus menari. Sesampai di ujung, Laela berbalik, lalu memanggil “Cimmeng ke sini”. Yang dipanggil berlari-lari.
“Ada apa?”
“Hmmm... ada yang ingin aku katakan...” belum sempat dia lanjutkan, naluri
keremajaan yang menggebu, berangsur-angsur memalu. Lama dia terdiam kaku. Lalu melanjutkan dengan kalimat yang aneh, “Aku hanya ingin mengatakan, bahwa kita dipisahkan oleh aliran sungai yang hendak membuang air ke muara,” suaranya parau.
Dahi Laela berkerut. Dimintanya penjelasan lebih lanjut. Cimmeng merasa tersudut. Malunya tidak mau surut. Pelipisnya berkeringat. Jantungnya berdenyut-denyut. Dia butuh penyemangat. Sesaat, keberanian Cimmeng kembali bangkit. Dia berkata lebih lanjut, “Aku menyukaimu sejak dahulu, hingga suatu saat”. Laela kaget. Serasa darahnya berhenti beberapa saat. Dipandanginya lelaki di depannya dengan sangat. “Bukankah kau tahu, aku dan Zakariah telah dekat sejak dahulu hingga beberapa saat,” Laela menyahut.
“Tidakkah kau mau berpaling darinya? Aku ragu dia dapat menyayangimu melebihi rasaku. Sebab, selama empat tahun lebih, Dia hanya melihatmu sekali setahun. Sedangkan, Aku melihatmu terkadang lebih sekali dalam sehari,” entah dari mana Cimmeng mempelajari kalimat itu, untuk anak lulusan sekolah menengah pertama, tentulah kalimat itu bernilai lebih.
“Cimmeng, aku tidak ingin membahas itu dalam-dalam. Lagi pula, aku anggap kau adikku yang hebat meski berkehidupan kelam,” Laela menimpali. Jelas kalimat itu membuat Cimmeng jatuh harga diri. Disebut adik oleh orang yang dicintai, adalah sebuah pengakuan yang jujur, sekaligus penolakan dengan cara damai.
“Aku kira, kita hanya dipisahkan oleh sungai ini. Ternyata, kita telah dipisahkan oleh rasa, oleh kekayaan, oleh pendidikan, oleh derajat orang tua,” ungkap Cimmeng.
“Aku kira, kau telah salah paham Cimmeng,” Laela menyanggah.
“Aku memang tidak melanjutkan sekolah. Aku hanya seorang nelayan papah.
Dahi Laela berkerut. Dimintanya penjelasan lebih lanjut. Cimmeng merasa tersudut. Malunya tidak mau surut. Pelipisnya berkeringat. Jantungnya berdenyut-denyut. Dia butuh penyemangat. Sesaat, keberanian Cimmeng kembali bangkit. Dia berkata lebih lanjut, “Aku menyukaimu sejak dahulu, hingga suatu saat”. Laela kaget. Serasa darahnya berhenti beberapa saat. Dipandanginya lelaki di depannya dengan sangat. “Bukankah kau tahu, aku dan Zakariah telah dekat sejak dahulu hingga beberapa saat,” Laela menyahut.
“Tidakkah kau mau berpaling darinya? Aku ragu dia dapat menyayangimu melebihi rasaku. Sebab, selama empat tahun lebih, Dia hanya melihatmu sekali setahun. Sedangkan, Aku melihatmu terkadang lebih sekali dalam sehari,” entah dari mana Cimmeng mempelajari kalimat itu, untuk anak lulusan sekolah menengah pertama, tentulah kalimat itu bernilai lebih.
“Cimmeng, aku tidak ingin membahas itu dalam-dalam. Lagi pula, aku anggap kau adikku yang hebat meski berkehidupan kelam,” Laela menimpali. Jelas kalimat itu membuat Cimmeng jatuh harga diri. Disebut adik oleh orang yang dicintai, adalah sebuah pengakuan yang jujur, sekaligus penolakan dengan cara damai.
“Aku kira, kita hanya dipisahkan oleh sungai ini. Ternyata, kita telah dipisahkan oleh rasa, oleh kekayaan, oleh pendidikan, oleh derajat orang tua,” ungkap Cimmeng.
“Aku kira, kau telah salah paham Cimmeng,” Laela menyanggah.
“Aku memang tidak melanjutkan sekolah. Aku hanya seorang nelayan papah.
Pergi saat matahari berlabuh. Di laut mendengar petir bergemuruh. Hanya tahu melempar sauh. Kerap berpakaian lusuh. Berkehidupan susah. Lalu mereka menganggapku sebagai musuh.”
“Sekali lagi, Aku kira kau telah salah paham,” kali ini Laela lebih tegas.
Cimmeng tidak peduli, apakah dia salah paham atau tidak. Mulutnya tidak lagi kaku, bicaranya lancar sekehendak. Laela Muak. Cimmeng ditolak.
Laela
Di teras. Setelah membaca secarik kertas. Berisikan kalimat-kalimat yang tegas. Tentang ungkapan rasa yang memanas.
Sengaja aku menuliskan kalimat-kalimat ini, agar suaraku yang sering kau sebut cempreng tidak merusak gendang telingamu.
Laela, kau adalah bunga yang harum semerbak. Bunga, bunga desa, idola semua orang, termasuk diriku. Lantas aku bersyukur, sebab kau telah mengidolakanku. Terima kasih untuk itu.
Tetapi Laela, yang harus kau ketahui, setelah jarak memisahkan kita beberapa tahun lalu, meski hati kita tidaklah berpisah. Namun, rasa itu bak amanah yang berat. Aku berusaha membuatnya ringan tetapi sulit. Aku berharap kepadamu, sebagai bunga, tetaplah mekar, agar elok dipandang oleh semua orang. Kelak, jika seorang datang memetikmu kuharap kau bersiap.
Tetapi Laela, yang harus kau ketahui, aku masih bermimpi jikalau orang itu adalah Aku sendiri. Namun, akhir-akhir ini, mimpi itu menjelma menjadi amanah yang semakin berat. Aku berusaha membuatnya ringan tetapi sulit.
Tentunya, kau dan aku belum bisa memastikan keadaan ini. Tetapi, aku akan tetap berusaha untuk mengajakmu yakin akan keadaan. Berbahagialah, bila saat itu datang. Sebagai bunga, pengharapan terakhirku kepadamu, janganlah mencoba untuk layu.
Sekonyong-konyong hati Laela terpaut. Menangkap makna tersurat maupun tersirat. Sayangnya, penafsiran Laela tidaklah tepat. Kesimpulannya terlalu cepat. Dalam benaknya, disangkanya Zakariah akan datang melamar dalam waktu dekat. Padahal, kalimat-kalimat itu adalah pengunduran diri dengan hormat.
Dalam kalimatnya, Zakariah merasa beban cinta adalah tanggung jawab yang semakin berat dan sulit untuk dijalani, makanya jalannya harus dihindari. Tetapi bagi Laela, kalimat itu berupa pujian yang hebat, karena sebagai hadiah yang telah tulus mencintai.
Membaca lebih lanjut kalimat Zakariah, Laela mengganggap, pujaan hatinya telah memimpikan saat terindah bersamanya. Mimpi itu akan segera diwujudkan apapun resikonya. Sekali lagi, Laela tentunya telah salah memaknainya. Sebab, kalimat itu adalah penegas, Zakariah tidak mampu lagi mempertahankan cinta dan tidak bisa memastikan, sampai kapan mereka akan tetap bersama. Olehnya, Zakariah hanya berharap agar Laela mampu menerima keadaaan dengan lapang dada. Apapun resikonya.
Di akhir kalimat pada tulisan Zakariah kepadanya. Semestinya dipahami Laela sebagai ajakan untuk tegar dalam menjalani perpisahan untuk selamanya. Tetapi lagi-lagi Laela salah, kalimat Zakariah yang berharap agar dirinya menjadi bunga yang tidak menjadi layu, dipahami hanya sebatas pujian atas dirinya.
Apalah daya, Laela hanya siswa sekolah menengah atas, sekaligus pecinta setia. Sedangkan, Zakariah adalah calon sarjana sastra yang mampu merangkai kata menjadi kalimat berwajah ganda. Laela memaknai kalimat perpisahan seindah-indahnya. Sementara Zakariah menuliskan kalimat kesedihan sehalus-halusnya.
Zakariah
Zakariah menemui Cimmeng di tepi sungai. Bulan memantulkan cahayanya dengan damai. Angin berdesir pelan, tapi pasti. Menyadarkan bahwa masalah tidak harus selesai di ujung belati.
Keduanya berusaha untuk berpikir jernih. Membicarakan kehidupan dan kematian yang tak berwajah. Mengumpulkan dan merajut kembali rasa sedih, senang, suka, duka, menjadi kisah. Tetapi, ketika hendak mengurai kisah tentang Laela, keduanya menjadi gerah. Kisah itu membuat segalanya berubah pedih.
Beberapa waktu lalu, setelah mendengar kehendak Zakariah untuk menikah dengan gadis teman kampusnya. Laela memilih jalan abadi. Sebuah perahu nelayan dia bawa lari, dikemudikannya menyusuri muara dan membela lautan dalam sepi. Beberapa nelayan yang melihat mencoba memburunya, tetapi Laela memacu dengan cepat tak tertandingi. Perahu yang dipakainya hilang kendali lalu terbalik, Laela tak terlihat lagi. Dua hari pencarian, Laela ditemukan mati.
“Padahal aku telah menuliskan kalimat perpisahan. Aku kira dia telah paham dan tegar menerima keputusanku, sebab dia tidak membalas kalimat itu,” kata Zakariah.
“Kamu kira semuanya telah selesai?” Cimmeng menimpali sekadarnya, lalu melanjutkan dengan kalimat yang terasa lembut menyentuh gendang telinga, tetapi memantik api ketersinggungan, “Aku kira sekolah tinggi bisa membuat orang lebih dewasa dan menghargai perasaan orang.”
“Apa maksud kau Cimmeng,”
“Sederhana, kau telah melukai perasaan perempuan yang menaruh harapan terhadapmu. Jadi, kematiannya adalah dosamu,” Cimmeng berbicara sekenanya. Zakariah merasa terhina. Satu pukulan mendarat di pipi Cimmeng.
Tidak terima perlakuan Zakariah atas dirinya. Cimmeng membalas dengan cara lelaki. Mereka bergumul dalam sepi. Saling menghantam tiada henti. Kisah yang dirajutnya sedari tadi kembali mati. Bercerai berai.
“Sekali lagi, Aku kira kau telah salah paham,” kali ini Laela lebih tegas.
Cimmeng tidak peduli, apakah dia salah paham atau tidak. Mulutnya tidak lagi kaku, bicaranya lancar sekehendak. Laela Muak. Cimmeng ditolak.
Laela
Di teras. Setelah membaca secarik kertas. Berisikan kalimat-kalimat yang tegas. Tentang ungkapan rasa yang memanas.
Sengaja aku menuliskan kalimat-kalimat ini, agar suaraku yang sering kau sebut cempreng tidak merusak gendang telingamu.
Laela, kau adalah bunga yang harum semerbak. Bunga, bunga desa, idola semua orang, termasuk diriku. Lantas aku bersyukur, sebab kau telah mengidolakanku. Terima kasih untuk itu.
Tetapi Laela, yang harus kau ketahui, setelah jarak memisahkan kita beberapa tahun lalu, meski hati kita tidaklah berpisah. Namun, rasa itu bak amanah yang berat. Aku berusaha membuatnya ringan tetapi sulit. Aku berharap kepadamu, sebagai bunga, tetaplah mekar, agar elok dipandang oleh semua orang. Kelak, jika seorang datang memetikmu kuharap kau bersiap.
Tetapi Laela, yang harus kau ketahui, aku masih bermimpi jikalau orang itu adalah Aku sendiri. Namun, akhir-akhir ini, mimpi itu menjelma menjadi amanah yang semakin berat. Aku berusaha membuatnya ringan tetapi sulit.
Tentunya, kau dan aku belum bisa memastikan keadaan ini. Tetapi, aku akan tetap berusaha untuk mengajakmu yakin akan keadaan. Berbahagialah, bila saat itu datang. Sebagai bunga, pengharapan terakhirku kepadamu, janganlah mencoba untuk layu.
Sekonyong-konyong hati Laela terpaut. Menangkap makna tersurat maupun tersirat. Sayangnya, penafsiran Laela tidaklah tepat. Kesimpulannya terlalu cepat. Dalam benaknya, disangkanya Zakariah akan datang melamar dalam waktu dekat. Padahal, kalimat-kalimat itu adalah pengunduran diri dengan hormat.
Dalam kalimatnya, Zakariah merasa beban cinta adalah tanggung jawab yang semakin berat dan sulit untuk dijalani, makanya jalannya harus dihindari. Tetapi bagi Laela, kalimat itu berupa pujian yang hebat, karena sebagai hadiah yang telah tulus mencintai.
Membaca lebih lanjut kalimat Zakariah, Laela mengganggap, pujaan hatinya telah memimpikan saat terindah bersamanya. Mimpi itu akan segera diwujudkan apapun resikonya. Sekali lagi, Laela tentunya telah salah memaknainya. Sebab, kalimat itu adalah penegas, Zakariah tidak mampu lagi mempertahankan cinta dan tidak bisa memastikan, sampai kapan mereka akan tetap bersama. Olehnya, Zakariah hanya berharap agar Laela mampu menerima keadaaan dengan lapang dada. Apapun resikonya.
Di akhir kalimat pada tulisan Zakariah kepadanya. Semestinya dipahami Laela sebagai ajakan untuk tegar dalam menjalani perpisahan untuk selamanya. Tetapi lagi-lagi Laela salah, kalimat Zakariah yang berharap agar dirinya menjadi bunga yang tidak menjadi layu, dipahami hanya sebatas pujian atas dirinya.
Apalah daya, Laela hanya siswa sekolah menengah atas, sekaligus pecinta setia. Sedangkan, Zakariah adalah calon sarjana sastra yang mampu merangkai kata menjadi kalimat berwajah ganda. Laela memaknai kalimat perpisahan seindah-indahnya. Sementara Zakariah menuliskan kalimat kesedihan sehalus-halusnya.
Zakariah
Zakariah menemui Cimmeng di tepi sungai. Bulan memantulkan cahayanya dengan damai. Angin berdesir pelan, tapi pasti. Menyadarkan bahwa masalah tidak harus selesai di ujung belati.
Keduanya berusaha untuk berpikir jernih. Membicarakan kehidupan dan kematian yang tak berwajah. Mengumpulkan dan merajut kembali rasa sedih, senang, suka, duka, menjadi kisah. Tetapi, ketika hendak mengurai kisah tentang Laela, keduanya menjadi gerah. Kisah itu membuat segalanya berubah pedih.
Beberapa waktu lalu, setelah mendengar kehendak Zakariah untuk menikah dengan gadis teman kampusnya. Laela memilih jalan abadi. Sebuah perahu nelayan dia bawa lari, dikemudikannya menyusuri muara dan membela lautan dalam sepi. Beberapa nelayan yang melihat mencoba memburunya, tetapi Laela memacu dengan cepat tak tertandingi. Perahu yang dipakainya hilang kendali lalu terbalik, Laela tak terlihat lagi. Dua hari pencarian, Laela ditemukan mati.
“Padahal aku telah menuliskan kalimat perpisahan. Aku kira dia telah paham dan tegar menerima keputusanku, sebab dia tidak membalas kalimat itu,” kata Zakariah.
“Kamu kira semuanya telah selesai?” Cimmeng menimpali sekadarnya, lalu melanjutkan dengan kalimat yang terasa lembut menyentuh gendang telinga, tetapi memantik api ketersinggungan, “Aku kira sekolah tinggi bisa membuat orang lebih dewasa dan menghargai perasaan orang.”
“Apa maksud kau Cimmeng,”
“Sederhana, kau telah melukai perasaan perempuan yang menaruh harapan terhadapmu. Jadi, kematiannya adalah dosamu,” Cimmeng berbicara sekenanya. Zakariah merasa terhina. Satu pukulan mendarat di pipi Cimmeng.
Tidak terima perlakuan Zakariah atas dirinya. Cimmeng membalas dengan cara lelaki. Mereka bergumul dalam sepi. Saling menghantam tiada henti. Kisah yang dirajutnya sedari tadi kembali mati. Bercerai berai.
0 komentar:
Post a Comment