Recent

02 January, 2016

Demi Doxa



Oleh : Zulfikar Hafid

Zaman Pencerahan dan penuhanan ilmu pengetahuannya berhasil menarik garis tebal antara rasional dan irrasional, ilmiah dan tidak ilmiah, serta fakta dan fiksi. Bentangan garis dengan kualifikasi yang jelas dan tegas ini membuat segala diskursus manusia harus sesuai dengan kualifiaksi yang telah diciptakan. Lintasan-lintasan pikiran yang memiliki banyak sekali cara untuk diwacanakan menjadi terbatas. Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1991) menyebut garis batas ini dengan terma doxa.

Manusia yang mendiskursuskan kehendak-pikirnya berusaha untuk memenuhi kualifikasi layak, benar, ilimiah, dan rasional tersebut. Semuanya berusaha mengejar doxa: kualifikasi atau standar yang berlaku dalam masyarakat, yang standar itu sebenaranya direkayasa oleh pihak dominan. Atas doxa ini, pihak popular (korban terdominasi) menerima saja, bahkan rela menyiksa diri demi mencapai doxa.

Film karya Lasse Hallstrom, The Hoax (2006), menunjukkan usaha pemenuhan doxa itu. Film yang diadaptasi dari buku yang ditulis Clifford Irving ini menggambarkan betapa Irving berusaha keras untuk memenuhi doxa atas tulisan-tulisannya. Suatu hari, tulisan Clifford Irving dijanjikan akan diterbitkan sebanyak 30.000 eksemplar. Akan tetapi, McGraw-Hill Book Company, perusahaan penerbitan New York, membatalkan penerbitan buku tersebut. Alasannya, tulisan Irving tidak sesuai doxa, kualifikasi penguasa yang dilatenkan dengan selera pasar.

Irving tidak menyerah. Ia terus mencari ide tulisan yang sesuai dengan selera penerbit. Irving berusaha untuk menghasilkan karya yang sesuai doxa. Hingga suatu hari, Irving menemukan ide untuk menuliskan kisah hidup seorang Edward Hughes, salah satu orang terkaya Amerika Serikat saat itu.

Penulisan kisah hidup seorang Hughes, orang kaya raya yang tertutup, tentu tidak mudah. Ide yang timbul dari pembacaan Irving atas sebuah majalah yang memuat kisah hidup Hughes akhirnya dieksekusi dengan kepalsuan-kepalsuan (hoax). Irving menulis surat palsu dengan meniru tulisan tangan Hughes yang dimuat di majalah. Surat palsu yang ditunjukkan kepada pihak McGraw-Hill. Tidak hanya surat, dokumen-dokumen terkait Hughes untuk data bukunya pun Irving dapatkan dengan menipu.

Sebagai orang kaya raya di Amerika, Hughes memang memiliki modal untuk menguasai orang lain. Selain memiliki modal ekonomi, modal sosial, dan modal simbolik, Hughes juga memiliki modal budaya menurut terma Bourdieu. Oleh karena itu, ketika Irving menyampaikan bahwa dirinya diminta untuk menuliskan kisah hidup Hughes, dan permintaan itu didyakini keasliannya, McGraw-Hill pun dengan gegap-gempita menyetujui untuk menerbitkan buku tersebut—selain karena Hughes dikenal sebagai orang terkaya Amerika yang jarang melakukan interaksi dengan publik.

Hal serupa—upaya pemenuhan doxa—dapat ditemui di sekitar kita. Dalam hal penulisan tugas akhir studi universitas, misalnya. Seorang dosen yang dianggap expert—meski nyatanya seringkali tidak juga—dipasang untuk menjadi pembimbing atau penguji. Ketika berkonsultasi, mahasiswa bimbingan sang Dosen harus maklum ketika tulisannya (skripsi) dicorat-coret.

Kurang ini, harus begini, teorinya kurang jelas, atau latar belakang yang kurang tajam merupakan diktum-diktum distribusi kekuasaan sang dosen. Tidak sedikit mahasiswa yang manggut saja dan menyiksa diri untuk mematuhi diktum sang dosen. Salin tempel dan plagiasi tidak dapat ditampik sebagai solusi yang paling mudah untuk ditempuh. Semua itu karena doxa dan modal budaya sang dosen.

Begitulah. Ilmu pengetahuan (diskurusus) sebagai produk Zaman Pencerahan semula memang dikira absolut kuasanya. Ilmu pegetahuan diduga steril dari kuasa apa pun di atasnya. Hingga, seorang Michel Foucalt memberaki telinga semua orang dengan klaimnya bahwa pengetahuan atau diskursus tidak steril dari kekuasaan. Kekuasaan ini menyebar di seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pada ilmu pengetahuan. Bahkan, pengetahuan itu sendiri adalah kekuasaan. Oleh karena itu, kekuasaan tidak berasal dari sumber tunggal. Kekuasaan hadir dalam setiap diskursus dan memproduksi diskursus kekuasaan baru. Begitu terus-menerus.

Diskurusus merupakan jelmaan kekuasaan. Kekuasaan dalam wujud kualifikasi layak-tidak layak yang mengatur diskursus-diskursus dalam kehidupan. Sekali lagi, semua orang berusaha untuk memenuhi kualifikasi tersebut. Orang-orang mati-matian demi doxa, karena seseorang yang berhasil menguasai diskursus memiliki modal untuk menguasai orang lain. Begitu juga dengan orang yang menguasai modal, akan menguasai diskurusus. Ia menjadi pihak dominan, sementara pihak populer menyalahkenali diskursus pihak dominan, sehingga apa saja yang didiskursuskan pihak dominan diterima, dipaksakan untuk diikuti, dan diyakini memang sudah sewajarnya oleh pihak popular, seperti pemikiran kekerasan simbolik Bourdieu. Seperti fenomena corat-coret dosen di tugas akhir si mahasiswa. Apa yang bisa kita lakukan? Demi Doxa!

0 komentar:

Post a Comment