Recent

21 December, 2015

ORANG-ORANG DALAM MENGGELAR UPACARA

OLEH : AL-FIAN DIPPAHATANG


Cerpen ini Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Nasional Gebyar Bahasa
dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
(GBSI UPI) 2015


Di Kajang ini, kami cerap pasang—petuah nenek moyang, menekap kami orang-orang dalam. Setiap langkah kecil di tanah tertua ini, kami menitip doa. Menatap ke hadapan Turiek Akrana—Tuhan yang tetap teduh kami sembah. Menjaga segala arah langkah, agar tidak tergerus arus dunia. Kendati rumah kami di kelilingi hutan. Kami tidak pernah takut. Kami ada menjadi pemberani dan menjaganya. Dari hasil hutan, kami bertahan bertahun-tahun. Kami pantang menebang pohon sembarangan. Musibah akan geger menimpa kami jika terbukti dilanggar. Upacara adat akan digelar untuk menentukan nasib kami.

Tubuh kami kekar dan tidak mudah rapuh. Kami manusia pekerja. Subuh-subuh kokok ayam mengisyaratkan kami mesti ada di lahan. Meramu hasil hutan dan menyadap nira. Malamnya, kami gunakan istirahat. Segera tertidur, menunggu matahari terbit kembali. Anak-anak kami ajarkan mengamati alam. Menata hidup dengan teratur. Mengajarkan pasang sambil mengingatkan pagi untuk bekerja dan malam hanya ada istirahat, tidur.

Setiap hari pattope lekleng—pakaian serba hitam membungkus kulit kami. Agar, getol mengingat kematian. Menempuh allo njorengang—alam akhirat dengan penuh berkah tanpa berkeluh kesah. Kulit kaki kami terbiasa telanjang. Kasar dan kebal menahan apapun yang kami injak. Orang-orang luar mesti melepas alas kaki jika hendak berkunjung di Kajang ini. Kami menghargai tanah sebagai ibu. Itulah yang membuat kami selalu dinilai manusia yang mencintai tanah. Menghargai kami yang menjunjung tallasa kamase-masea—meniti hidup sederhana. Di tambah, rumah kami hanya beratap rumbia, berdinding papan, dan lantai rumah panggung kami beralas bambu dari hutan.

Kami yakin dalam menegakkan pasang, amanah dari Turiek Akrakna. Telah diutus satu manusia pilihan di tanah Kajang ini. Kami percaya ia mengetahui segala perintah dan larangan. Kesuciannya dibungkus bassung—pantang menyebut nama aslinya. Kami akrab menyapanya Bohe Amma—ayah tertua, kepala adat kami. Kami sangat menghormatinya menyebarkan pasang.

Bohe Amma sering kali menasihati orang-orang dalam. Aku masih ingat. Sore itu, aku bermain tanah bersama Ramlah di samping rumahnya. Ia berpesan, agar aku pandai memahami tanah sebagai pemberian Tuhan. Aku tidak begitu paham maksud Bohe Amma. Waktu itu, aku masih kecil. Pikiranku belum mampu mencernanya. Hanya patuh serupa patung diam menatapnya berwibawa.

***

Pagi ini, di kolong rumah, kulihat Anrong—sapaan akrabku pada ibu. Penuh semangat menenun sarung yang belum rampung. Anrong banyak menghasilkan sarung yang sehari-hari dipakai keluargaku. Pun, dijual menambah kebutuhan dapur. Sebab, tenunan Anrong selalu ditunggu-tunggu. Selalu laku dilelang orang-orang luar. Anrong memiliki pelanggan tetap untuk dijual di pasar Kalimporo.


Orang-orang luar menyebutnya lipa’ le’leng—sarung adat Kajang yang dikerjakan berbulan-bulan. Sarung yang diwarnai menggunakan tarung—dedaunan yang tumbuh di hutan adat kami. Diperas dengan air. Dicelupkan untuk menghasilkan warna kehitaman yang tidak biasa dengan sarung kebanyakan. Kulihat Anrong melakoni tahap akhir, meremas-remas tarung. Raut wajahnya tidak pernah kalah, walau terkadang letih duduk berjam-jam.

Lantai berbahan bambu yang bercela tiap hari kami pijaki. Anrong selalu tersenyum jika mataku mencuri-curi kegiatannya. Berseru memanggilnya dari atas rumah. Ceria menyemangatinya atau sering kali kusambangi demi membantu-bantu keperluannya yang kurang. Juga, kupijat punggungnya yang nyeri, agar bertambah semangat.

“Kita hidup dari hutan nak. Penting menjaganya.” jika berada di sisi Anrong. Ia selalu berpetuah seraya menenun tanpa menatapku.
“Jika ada orang yang melanggar Anrong. Apa sanksinya?” tanyaku penasaran.
“Upacara adat akan digelar.” Anrong menghela napas. Kerutan di wajahnya kian jelas.
“Upacara seperti apa Anrong?” kuluapkan rasa penasaran yang semakin menyergapku.
“Upacara Attunu panroli—membakar linggis hingga membara-bara nak. Jika tidak ada yang mengaku menebang pohon di hutan.”

Aku masih ingat percakapan semasa kecilku dengan Anrong. Ia ingin meyakinkanku pentingnya menegakkan pasang. Memahami aturan penebangan pohon di hutan. Ramlah pun turut membenarkan pentingnya menjaga hutan. Aku berteman baik dengan anak Bohe Amma ini. Ia murah menyungging senyum, ramah mengulang sapaan. Aku selalu diajak ke balai sambil membicarakan pasang. Ramlah sangat paham aturan penebangan. Aku segan dengan Ramlah. Selain, karena anak dari kepala adat. Ia menjalani agama patuntung—perintah Tuhan tanpa celah. Ramlah kuasa menceritakan hutan adat.

“Borong karamaka—hutan keramat, kau tahu kan Pedo?” aku menatapnya kaku. Gagu. Ragu ingin menanggapi. “Hanya ada upacara adat,” lanjutnya sambil menutup mata sesaat. Angin sepoi-sepoi meniup rambut panjangnya yang lurus, “di hutan inilah tempat tinggal para leluhur. Dilarang keras menebang, menanam pohon, mengukur luas, memelihara ternak, dan menanam tetumbuhan. Hutan ini sakral Pedo.”
Aku beruntung dekat dengan Ramlah. Ada yang mengingatkan untuk tidak cerocos mencoba atau berniat sekalipun, walau kebutuhan menggunakan kayu mendesak.

“Borong batasayya—hutan perbatasan, diperbolehkan mengambil kayu sepanjang persediaan masih ada dan diizinkan Bohe Amma.”
“Jika aku diizinkan Bohe Amma mengambil kayu. Membangun rumah suatu saat nanti. Boleh ya Ramlah?” pernyataan Ramlah kali ini membuatku mudah menanggapinya.
“Tidak bisa Pedo.” Ramlah tersenyum geli. Geliginya merah cemerlang. Cerlang tatapannya. Mungkin tanggapanku salah. Seperti tergagau aku berulah.
“Kenapa tidak bisa. Kau kan tadi sudah bilang, asal mendapat izin Bohe Amma.”
“Hanya keperluan sarana umum dan bagi yang tidak mampu membangun rumah. Kau kan sudah memiliki rumah di sini.”
“Rumah untuk diriku Ramlah, ketika dewasa nanti.” sesaat hatiku berketus, rumah yang kudambakan sebenarnya, itu untukku dengan Ramlah. Aku berniat bisa menggapai hatinya lekat.
“Jika kau merasa tidak mampu. Apa boleh buat. Namun, dalam menebang satu jenis pohon, mesti menanam dua pohon yang sejenisnya terlebih dahulu. Itupun jika sudah tumbuh dengan baik. Jika tidak, penebangan akan sangat dilarang.” aku mengangguk. Ramlah menyungging senyum. Lesung pipinya palung terdalam.
“Terakhir, buat kau pahami Pedo. Borong luara—hutan luar, bebas dikelola penduduk. Tetapi, aturan tetap mengikat jika ada yang langgar.”

Wajah Ramlah ranum. Perjalanan masa remajaku hingga dewasa kini masih kukenang. Senang aku mengingatnya. Aku seperti menyepuh ditantang Ramlah. Ditentang pengetahuannya. Pantang aku salah ucap jika bertemu dengannya. Hatiku menetes, mungkin diperah atau diperas. Dadaku memendam. Mendekam pikiranku terhadapnya. Ramlah berkelebat. Mengerangkeng. Perasaanku terus diserang jatuh cinta.

***

Siang ini, aku didaulat orang-orang di gapura sebagai juru bicara. Orang-orang luar ingin berkunjung ke rumah kepala adat kami. Sebagai penyambung lidah hari ini. Aku riang gembira bisa membantu, agar paham bahasa kami. Di tanah Kajang ini, kami tidak memakai bahasa Indonesia dalam hal apapun. Kami memiliki bahasa adat tersendiri demi menegakkan pasang.
Aku akan memandu orang-orang luar memberi sedikit pemahaman tentang pasang yang kupahami dari Ramlah. Kehidupan kami yang sederhana: berdiri sederhana, duduk sederhana, melangkah sederhana, dan berbicara sederhana. Pasang membentuk kami menjadi manusia sederhana.
Di bibir tangga rumah Bohe Amma. Kulihat Ramlah. Terkejut melihat air mukanya. Ia tampak geram menatapku. Kakiku melangkah setengah keram. Tenggelam aku mengembang senyum. Kurasa tubuhku akan mengambang. Ramlah ingin berteriak. Tetapi, tidak sudi. Orang-orang luar berkumpul di belakangku. Sekilas kulihat wajah kakakku di ambang jendela rumah Bohe Amma. Ada apa dengan diriku, batinku menerka. Seperti ada yang mengganjal, mungkin aku melakukan salah atau sementara menjadi perbincangan orang-orang. Aku tetap melangkah tenang. Sambil menanggapi pengunjung orang-orang luar. Beruntung salah satu di antaranya sedikit mampu berbahasa Konjo—bahasa adat kami.

Kami tiba di pagar rumah Bohe Amma. Entah mengapa, aku urungkan niat naik ke rumahnya. Aku mundur beberapa langkah. Di ambang jendela, kulihat juga wajah Cummang. Seminggu lalu, aku melihatnya menyeret kayu dari Borong Batasayya. Mungkin, ia sedang diadili. Tetapi, mengapa kakakku ada di sana? Ramlah juga tampak marah kepadaku, walau keranumannya masih terjaga. Tak sepatutnya aku menerka. Banyak salah jika aku melakukannya. Aku tersisih dari keributan orang-orang luar. Pikiranku berseliweran. Kukayuh langkahku pelan menjauh.

***

Ketegangan tak terelakkan. Memuncak. Merinding orang-orang dalam berdatangan menanti perusuhnya. Tapak kakiku tidak merasa panas. Linggis yang membara-bara kuinjak tidak mempan melepuh tapakku. Bukan aku perusuhnya. Anrong menatapku lekat. Tidak ada penduduk yang ingin mengaku. Hanya ingkar, mungkin ikrar. Walau begitu, napasku kacau. Gagu sesaat menatap wajah Bohe Amma. Sebagai kepala adat suku Kajang. Bohe Amma mana’ ada’—segala keputusannya didengar. Jelang sore ini, airmukanya diuji menatap kami.

Upacara attunu panroli dihelat. Aku berhasil menahan debar. Mundur beberapa langkah. Lebar tubuh Pedo maju ke tengah-tengah kurumunan yang padat melingkar. Satu per satu tatapan tajam mengiringi langkah berat adikku. Dari sarung, baju, hingga passapu’—pengikat kepala yang ia kenakan. Pakaian hitam-hitam adat Kajang membalutnya dengan sempurna. Riuh rendah suara cemas menanti adikku menjalani upacara. Aku takut jika kesaksian Cummang itu benar. Pedo perusuhnya. Beberapa hari yang lalu gunjingan keras tidak mampu keluarga kami bantah di rumah Bohe Amma.

Lamat-lamat kulihat Pedo memegang ujung linggis yang dibalut kain. Kakinya tidak segera ia lekatkan ke linggis yang panas membara-bara. Ia menahan napas dan berusaha menguji nyali. Matanya menyala terang. Tiba-tiba, suara di tengah kerumunan pecah. Cummang yang memulai. Gaduh dan rusuh. Kusut mata Anrong, mungkin kisruh menatap Pedo. Aku berusaha menahan suara dan sesaat sesak menahan napas. Berat menelan air liur yang mengumpul di tenggorokanku.

“Pedo. Pedo. Apa yang kau tunggu. Lakukan jika kau merasa bukan perusuhnya!” gertakan mendesak adikku. Rapat tapak kakinya segera menyentuh panas linggis yang membara-bara. Dadaku bergemuruh. Teriris aku melihatnya digunjing. Aku yakin adikku menegakkan pasang. Di sisiku, tak kusadari Anrong roboh, pingsan di tengah-tengah kerumunan yang berpakaian hitam-hitam. Cummang memunggungi kerumunan upacara. Ramlah mengejarnya.

Makassar, 2015

Catatan:
Kawasan Kajang adat terletak di Kabupaten Bulukumba-Sulawesi Selatan yang masih mempertahankan adat-istiadat hingga saat ini. Kajang adat disebut juga Orang-Orang Dalam yang dihuni manusia yang mengenakan pakaian serba hitam dan tanpa alas kaki. Sedang, sebutan Orang-Orang Luar ditujukan di luar kawasan adat.

Catatan Lain:
Dalam cerpen ini, penggunaan bahasa lokal setelah tanda (—) adalah penjelasan makna atau arti.

0 komentar:

Post a Comment