Recent

29 December, 2015

Masihkah Bugis Memiliki Tabe’ ?


Oleh: Al-Fian Dippahatang
Dari kecil, saya tidak pernah ditinggalkan orangtua merantau sebagaimana ciri yang melekat pada orang Bugis. Malah, saya yang dianjurkan orangtua merantau demi alasan pendidikan. Didikan orangtua saya di rumah, hingga lepas dari pengamatannya secara langsung, tidak serta-merta membuat adab sopan santun yang getol menyuapi saya, bakal saya tinggalkan.

Saya percaya, adat menjadi cikal-bakal terbentuknya karakter ke dalam (diri sendiri), pantang melanggar petuah, karena penilaian bakal berpulang pada cara orangtua mendidik. Sedang, karakter di luar dari diri (lingkungan sosial masyarakat yang berbudaya), berkenaan penilai orang-orang berkenan dengan prinsip yang membentuk dalam lingkungan keluarga. Sebagai anak, tentu menjaga nama baik orangtua di perantauan suatu kewajiban, terlebih saya yang dibekali petuah.

Sebuah upaya keras saya bangun untuk menghargai dan menghormati siapapun yang berada di sekitar saya. Agar, tidak dinilai kurang beradab dan berbuat sesuka-sukanya. Dari kebudayaan Bugis, sopan santun dianggap sebagai salah satu konsep terbentuknya satu sistem nilai yang sangat berharga, yang dikenal dengan tabe’.

Bentuk petuah sopan santun diajarkan orangtua saya yang dimaksudkan diawal tulisan ini adalah tabe’. Petuah yang di mana pun, tidak boleh luput untuk saya junjung. Tabe’ menjadi penting dalam hidup saya, saat-saat diperhadapkan dengan situasi genting kehidupan modern dalam berperilaku. Terlebih orangtua sendiri, lebih-lebih orang yang dituakan, bahkan sekalipun usianya lebih muda. Tabe’ tak memandang usia, latar belakang keluarga dan pendidikannya nak, begitu ketus orangtua saya bergerutu jika berpetuah.

Melalatoa, Guru Besar Departemen Antropologi Universitas Indonesia menganggap, bahwa suku Bugis tidak bakal lepas dari aturan dan sistem norma adat yang cukup sakral yang disebut pangaderreng (Makassar: pangadakkang). Hal ini menjadi petunjuk orang Bugis dalam kehidupannya, dari lingkungan keluarga sampai yang lebih luas sebagai kelompok etnik. Tabe’ adalah bagian dari pangaderreng yang dijadikan titik perhatian dalam hidup yang berbudi suci.

Secara sederhana, orangtua saya ingin memberikan pemahaman, bahwa tabe’ yang dimaksudkannya adalah minta permisi untuk lewat, sambil mengucapkan kata tabe’ tersebut ketika orang-orang duduk berkumpul. Tidak sekadar mengucapkannya, tabe’ yang dipahamkan kepada saya, jika melakoninya sambil berjalan dengan diikuti tubuh membungkuk seperti sedang rukuk. Menunduk meluruskan tangan di samping lutut atau menggerakkan tangan kanan atau sepasang tangan ke bawah mengarah ke tanah. Selain itu, tabe’ yang dipahamkan kepada saya, mengambil sudut pandang, jika hendak mengambil alih sebuah pembicaraan atau mengawali sebuah percakapan, hendaknya berucap tabe’.

Jika dikaitkan sebagai kesatuan nilai taro ada taro gau’—hal yang selalu sesuai yang diucapkan dengan penerapannya melalui perbuatan. Orang Bugis akan meraih pemaknaan yang lebih dalam mengenai tabe’ sebagai suatu fungsi dan nilai yang cukup sakral. Hal ini, dimaksudkan, agar, tabe’ yang dilisankan diikuti dengan menggerakan anggota tubuh tertentu tetap seiring dan sejalan dalam menjaga nilai kearifan lokal.
                                                                                ***
Saya yakin, orang yang sopan santun disenangi lingkungannya. Digemari orang-orang dalam bergaul tanpa takut dikatakan tidak paham dengan kebudayaan. Sebab, kita tidak akan lepas menerapkan kebudayaan. Memahami kebudayaan hanya sekadar tataran teori dan tanpa praktek bakal tidak seimbang bahkan pincang. Kedua-duanya penting sejalan, agar kita tidak semu bahkan buta dengan pengetahuan yang bertabur dengan kearifan lokal.

Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer mengutip pemikiran antropolog dari Inggris Edward Burnett Taylor dalam bukunya, Primitive Culture and Anthropology, mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Tabe’ adalah anak dari ibu kebudayaan yang ingin disampaikan Taylor kepada kita sebagai orang Bugis. Agar, tetap memiliki kepedulian dan kesadaran terhadap kekayaan nilai-nilai kearifan lokal. Menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sangat penting demi menepis anggapan, orang Bugis tidak Bugis lagi dengan kebudayaannya.

Namun, dibesarkan dari suku manapun selain Bugis, menjunjung nilai-nilai kearifan lokal yang searti dengan tinjauan penerapan dari tabe’ penting melaksanakannya. Jangan sampai menggugurkan niat orangtua yang berbusa-busa berpetuah kepada kita lantas dengan pengaruh kebudayaan luar, kita semaunya saja melepaskan gaun kearifan lokal tersebut.

Tidak ingin menampik untuk ingkar, saat ini tabe’ perlahan terkikis penerapannya. Jika kita tilik dari perilaku orang-orang tua dulu yang kurang mengenyam, bahkan tidak kenyang dengan pendidikan. Mampu membuat anak-anaknya bisa terdidik dengan baik atau dari didikannya selalu tampak nilai dari karakter sopan santun.

Saya lantas menganggap, apa yang dilakoni orang-orang tua dulu, suatu kebiasaan yang tidak lepas dilakukan untuk anak-anaknya. Mapan dalam menegakkan sikap malu—lebih kuatnya, karena tidak ingin memunggungi siri’, harga diri yang lekat pada orang Bugis mengalir kepada anak-anaknya jika tak tahu tabe’. Jika sedang dianjurkan menerapkan sopan santun, tabe’ akan menjadi mappatabe’ atau merasakan keindahan dari kebudayaan yang ada dalam diri anaknya. Agar, tidak mendapat gunjingan dari tetangga bahkan orang-orang dari kampung sebelah.

Menyerukan tabe’, menyuarakan kebudayaan. Kita adalah pelaku nilai-nilai kearifan lokal, khususnya yang ada di Sulawesi Selatan ini. Tak sekadar menyadarinya. Di mana pun kita berada mesti menunaikannya. Jangan sampai, kita berpendidikan tinggi, lantas kita rendah pada hal sepele dan mengabaikan nilai-nilai karifan lokal.

Masikah Bugis memiliki tabe’? Sebaiknya, mari kita merenunginya bersama-sama, tabe’.

Tentang Penulis

Al-Fian Dippahatang lahir di Bulukumba. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin ini sehari-hari belajar sastra di Komunitas Penulis Lego-Lego dan Komunitas Penulis Lamaruddani di Makassar. Mengikuti Workshop Cerpen Kompas di Makassar International Writers Festival 2015. Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Nasional Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia Bandung (GBSI UPI) 2015. 
 Twitter: @pentilmerah

0 komentar:

Post a Comment