Recent

02 December, 2015

Gelar ”Aktivis Mahasiswa” Dalam Pentas Politik


Oleh : Rizal Pauzi

“Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi Idealis atau Apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya.” (Catatan seorang demonstran, Jakarrta : LP3ES,1983) halaman 221.

Media nasional akhir – akhir ini, menjelang pemilihan Presiden 2014 kembali tertarik untuk menampilkan para pembicara dari kalangan aktivis mahasiswa. Hal ini mulai mencuat ketika di ungkap masalah kerusuhan menjelang reformasi 1998. Sebut saja, di episode Mata Najwa menghadirkan Adrian Napitupulu yang merupakan aktivis 98. Adrian Napitupulu ini terkenal dengan kritikan kerasnya terhadap Prabowo Subianto yang merupakan calon presiden Republik Indonesia. Kritikan kerasnya mengenai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo saat menjadi komandan komando Pasukan khusus. Pelanggaran terberat menurut Adrian Napitupulu adalah persoalan penculikan aktivis mahasiswa yang tidak terungkap sampai sekarang. Tak bisa di pungkiri, Adrian Napitupulu adalah team pemenangan dari kubu Jokowi – Jusuf Kalla.

Dikubu prbowo hatta pun muncul aktivis 98 yang kemudian membantah keterlibaran Prabowo dalam kasus penculikan mahasiwa pada peristiwa reformasi 98. Mereka memiliki pandangan lain. Termasuk didalamnya prof.Amin Rais yang dikenal dengan Bapak Reformasi membantah keterlibatan Prabowo. beliau merupakan team inti dari pemenangan Prabowo - Hatta. Yang menariknya lagi forum aktivis 98 memberikan dukungan mereka ke pasangan Prabowo Hatta (tribunnews.com edisi 10 Juni 2014).

Penulis bukan ingin mencoba menganalisis mengenai keterlibatan Prabowo dalam penculikan mahasiswa di tahun 98, namun kemudian yang menjadi perbincangan kita adalah kembali populernya istilah aktivis mahasiswa di Media – Media lokal maupun Nasional. Hingga selesainya pertarungan pemilihan Presiden pun, Gelar aktivis Mahasiswa masih menjadi sebuah jualan dalam pentas politik sampai tingkat daerah.

Terlebih dahulu kita mendefinisikan aktivis mahasiswa, aktivis menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah orang – orang yang aktif. Jika ditarik kekonteks mahasiswa maka bisa didefinisikan sebagai mahasiswa yang aktif baik itu pada lembaga kemahasiswaan, lembaga sosial, bidang akademik dsb.

Namun gelar aktivis dalam dunia kemahasiswaan khususnya dimakassar tidaklah semudah definisi diatas. Mahasiswa yang mendapat gelar “ aktivis” adalah orang – orang yang aktif dilembaga kemahasiswaan yang memegang teguh idealisme mahasiswa itu sendiri. Bahkan yang cenderung melekat gelar aktivis mahasiswa adalah orang – orang yang sering melakukan aksi demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.

Ini sejalan dengan apa yang melekat dengan orang – orang yang kemudian mendapat gelar aktivis 66 (mahasiswa yangmengritisi dan turun kejalan menggulingan rezim soekarno) dan kativis 98 (mahasiswa yang mengritisi dan tutun kejalan menggulingkan rezim orde baru yang kemudian lebih dikenal reformasi). Merekalah pejuang – pejuang yang membebaskan rakyat dari penindasan penguasa dan pelopor perubahan bangsa.

Namun hal berbeda tampil di media – media nasional hari ini, para mantan aktivis atau yang bergelar aktivis 66,98 dan aktivis lainnya muncul mendukung figure tertentu misalny jaringan aktivis mahasiswa (JARI) pernah mendeklarasikan dukungan kepada Akbar Tanjung sebagai calon presiden. Muncul dimana – mana deklarasi gerakan mahasiswa mendukung calon presiden dan wakil presiden. Dan yang lebih paranya lagi mereka kemudian sangat sengit berdebat untuk saling membela para kandidat yang mereka dukung termasuk saling menyalahkan soal pelanggaran HAM di era 98.

Apakah mereka tidak sadar bahwa reformasi yang dilakukan di tahun 98 belumlah tuntas?apakah mereka telah melupakan perjuangan yang berdarah – darah yang iya tinggalkan?

Apa bedanya yang mengaku aktivis 98 hari ini dengan para aktivis mahasiswa di era 66 yang kemudian ditarik masuk keparlemen sebagai perwakilan mahasiswa justru berubah menjadi berpoyah – poyah dan melupakan apa yang diteriakkan ketika masih menjadi mahasiswa? ataukah degradasi nilai aktivis mahasiswa telah jatuh secara drastis sehingga semurah itu di jual untuk menjadi bagian kecil strategi politik praktis untuk melawan black campain. Atau nalar kritis telah dibungkam dengan menjadi bagian dari team pemenangan kandidat tertentu.

Memang rakyat negeri ini terlalu pragmatis, segala sesuatu yang telah masuk atau terjebak keranah politik praktis semuanya akan sirna. Jika sebelumnya para tokoh maasyarakat,tokoh adat,pengusaha,para Ulama telah masuk dalam lumpur politik. Maka gelar aktivis pun telah tercebur dalam lumpur politik. Gelar - gelar tersebut telah disalahgunakan untuk mengambil simpati masyarakat demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Untuk sedikit membangun kesadaran kritis kita, Mengutif potongan tulisan dari buku catatan seorang demonstran, Seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendiri, selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari system kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan.” Potongan kalimat ini menandakan bahwa aktivis sejati harus mampu hidup menderita dan tersisih dari kekuasaan. Namun walaupun begitu mereka terus berjuang untuk menegakkan kebenaran dan membela kepentingan rakyat.

Olehnya itu ,hemat penulis gelar “aktivis mahasiswa” harus dikembalikan ke hakikat dasarnya. Gelar ini harus menempati ruang – ruang suci yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan kelompok maupun politik praktis. Para aktivis mahasiswa seharusnya sadar akan peran dan fungsinya masing – masing. Selain itu para politik yang merupakan mantan aktivis janganlah kemudian mempolitisasi gelar ke – Aktivis – an nya untuk mendapatkan dukungan masyarakat. dan takkala pentingnya gelar “aktivis mahasiswa” harus disakralkan sehingga tak sembarang orang yang seenaknya menggunakan gelar itu. Ini demi kelangsungan lembaga kemahasiswaan dan jenjang kaderisasi kepemimpinan nasional yang betul – betul di tempa dari level bawah. Mahasiswa harus mengembalikan kejayaannya dengan tetap menjungjung nilai – nilai idealisme dan tidak terpengaruh oleh rayuan penguasa. Negeri ini akan selalu butuh parlemen jalanan dan kaum intelektual kritis untuk terus mengritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.

0 komentar:

Post a Comment