Recent

12 October, 2013

Beredarnya Penjual Liar Di Makassar

Makassar telah di padati dengan penujalan-penjualan liar. Dimana segerumbulan para pemilik barang yang ingin di jualnya agar mendapatkan keuntungan dari hasil jualannya. Mengapa demikian ? persoalan yang Pertama, kita ketahui adalah sebagaimana kurangnya aturan dari pihak pemerintah sehingga terjadinya pedagang liar. Kedua, Sebagaimana tempat di pasar telah padat dan penuh sehingga terjadinya seperti itu, maka layaknya “mereka” menggunakan saja pinggir jalan sebagai wadah untuk menjual barangnya. Bagaimana tindakan pemerintah terhadap hal-hal yang seperti ini ? Apakah ada larangan atau di biarkan saja?

Kejam sekali rasanya ketika biarkan begitu saja, apalagi tidak ada larangan terhadapnya. Dari berbagai nama jalan yang ada di Makassar, hampir setiap nama jalan yang padat oleh kendaraan itu di tempati oleh “pedagang liar”. Dari tahun ke tahun pada awalnya tidak ada yang membuat seperti ini, terjadinya sepertinya dikarenakan masyarakat telah berlomba-lomba untuk mendapatkan “keuntungan” (Materialisme). Pergeseran “Megadigma” social telah terjadi dari beberapa waktu lampau sebelumnya. Faktor terjadinya pergeseran adalah Pertama, Teknologi. Kedua, Sistem, dan Ketiga, Pemikiran Masyarakat.
Dari berbagai kalangan “penjual liar”, biasanya mereka penjual produk-produk yang menarik untuk pembeli. seperti, Baju Kaos, Jam Tangan, Pakaian Cakar, Lem Korea, dan lain-lain. Pinggir jalan telah di rubah oleh para “Penjual Liar”. Pasar sengaja di perIndah oleh bangunan-bangunan yang mewah dan harga semakin tinggi pula. Sehingga para pengusaha berpikir panjang terhadap usaha mereka, mengapa? Karena harga semakin tinggi, dan tempat semakin kecil pula. Maka dari itu terjadilah “Penjual Liar”. Maksud Dari “Penjual Liar” Adalah Orang-orang yang telah melakukan perdagangan di pinggir jalan.

Tanpa adanya pengawalan yang bersangkutan maka akan terjadinya “merajalela”. Dimana letak “Merajalelanya”, yaitu ketika diantara mereka telah berpencar dimana-mana. Alangkah lucunya perubahan-perubahan yang terjadi dimasa sekarang. Padahal sebenarnya tidak akan terjadi seperti itu kalau tidak disepakatinya di pihak pemerintah. Kita bisa mengukur kinerja pemerinta di kota Makassar, sampai mana peraturan-peraturan yang ideal terhadap tindakan seperti ini. Apakah sistem mesti di rubah ataukah masyarakat mesti di rubah dari segi pemikiran ?.
Semakin berkembangnnya “Penjual Liar” ini sampai-sampai tidak memikirkan adanya Satpol PP, Dimana peran penting sebuah keamanan pemerintah ini, sebut saja Satpol-PP. Bahkan bias dikatakan tanpa adanya “uang” maka pergerakan tidak ada artinya. Artinya apa, kalau ada uang maka dia akan bergerak untuk melarang “Penjual Liar” tersebut. Inilah yang biasa di sebut dalam masyarakat sebagaimana ajang “Proyek”. Masa kerja seperti ini dikatakan “Proyek”?. Dimana masuk akalnya. Jadi kebiasaan-kebiasaan yang dibuat oleh masyarakat akan dijadikan sebuah kebudyaan yang tidak signifikan.
Kemacetan yang terjadi di kota Makassar bisa mengakibatkan terjadinya konflik yang tiada habisnya, artinya apa, ketika konflik sedang terjadi maka akan terjadi lagi. Begitupun dengan kehadiran kapitalisme, semakin hari kita telah di jajah dengan waktu, dan definisi waktu menurut para kapitalis adalah waktu itu “uang’. Sangat menarik rasanya ketika kita membahas seperti ini. Karena semakin banyak perubahan-perubahan yang terjadi dalam social. Pada akhirnya “Penjualan Liar” akan selalu hadir juga di saat-saat mendapatkan cela. Jadi dimana peran pemerintah untuk mengatasi hal-hala seperti ini ?
Kejadian seperti ini perlu adanya sebuah pengawalan yang layak, artinya apa, pihak keamanan pemerintahan perlu di pertegas, bukan di permainkan. Dimanakah letak kesalahannya seperti ini ? Pasar telah ada di siapkan sebagai wadah untuk menjual, tapi kenapa masih banyak “Penjual Liar”. Betapa “rusaknya” sebuah sistem yang sedang berlaku di Makassar. Masih adakah pemerintah sekarang ? semakin terbukanya cela, semakin dicuri pula itu cela. Kondisi masyarakat sudah tak bias di pungkiri lagi betapa bebasnya sebuah tingkalu-tingkalu pedagang seperti “Penjual Liar”.
Berbicara keuntungan bukan berarti segala hal bias di jadikan tempat mendapatkan keuntungan. Andaikan aturan itu di pertegas dan di perjelas sebagaimana mestinya, hal seperti ini tidak bakalan terjadi, itupun kalau terjadi, maka aturan itu di pertanyakan. Masyarakat juga akan resah melihat seperti keadaan seperti itu, bukan cumin resah melainkan “marah”. Ingat “suara tuhan”, “suara-suara rakyat”. Berbagai macam yang dilakukan oleh “Penjual Liar” itu akan selalu menjadikan sebuah kesimpulan yang sangat meresahkan.
Batas pinggir jalan itu ada batasnya, pergusuran sering terjadi dimana-mana, akibat dari kemacetan, konflik social selalu terjadi dimana-dimana, bahkan “korupsi” pun setiap harinya terjadi. Betapa lucunya kejadian-kejadian seperti ini. Berkembangnya sebuah alat dan produksi di akibatkan karena apa ? bahan-bahan pokok sudah tak lagi menjadi barang yang murah, di tambah lagi perilaku anak-anak muda yang senantiasa melakukan kesalahan-kesalahan yang berdampak negatif. Peran dan fungsi sudah tak lagi menjadi fungsinya, bukan lagi menjadi kekompakan, tetapi menjadi barang yang tak bernilai.
Seharusnya “pemimpin” kita perlu “merakyat” bukan “duduk dan tanda tangan” saja. Ingat itu. Alangkah bagus kalau kita bersama-sama menjalankan sistem itu dengan mendegarkan “Suara Rakyat” lalu menjadikan sebuah aturan yang “sehat”. Kalau terjadi seperti itukan alangkah bagusnya. Itulah di sebut “Demokrasi”. 

0 komentar:

Post a Comment