Recent

03 January, 2017

Perempuan Dan Kealfaan Dalam Ruang Literasi




Oleh : Rizal Pauzi

Sejarah manusia adalah sejarah aksara. Dimulainya babak baru kehidupan manusia modern di mulai dengan dikenalnya tulisan. Disaat itu pulalah manusia purba dianggap berakhir. Aksara ini kemudian berkembang menjadi tradisi literasi. Aksara tak sekedar di tulisan, tetapi juga sebagai alat mewariskan pengetahuan  kepada generasi berikutnya. Ruang – ruang literasi ini kemudian menjadi sebuah babak penting dalam kebangkitan peradaban umat manusia.

Dalam Islam, tentunya Literasi bukan merupakan sesuatu yang asing. Ayat yang pertama Alquran yang diturunkan di Gua Hira tersebut juga merupakan landasan filosofis literasi. Perintah Iqra (membaca) menandakan bahwa landasan Islam adalah membaca. Sambungan ayat dilanjutkan dengan bismirabbikalasihhalaq (dengan (menyebut) nama tuhanmmu yang menciptakan). Dalam artian bahwa segala pengetahuan yang di peroleh dalam proses membaca harus disandarkan pada sang pencipta. Pencapaian pengetahuan dan sains yang dimiliki harus menambah keyakinan kita akan kekuasaan Allah SWT.

Sejarah manusia dalam kajian ilmu sejarah dan ajaran Islam sejalan terkait pentingnya Literasi. Sehingga wajar jika bangsa yang maju pasti menghargai dan mengembangkan tradisi literasi di Negaranya masing – masing. Kita bisa menyaksikan kejayaan Islam di masa Khilafah Abbasiyah. Khilafah ini memiliki Perpustkaan Ait al-Hikmah di Baghdad. Di perpustakaan ini terdapat ruangan khusus untuk menerjemahkan manuskrip kuno dari Yunani, Romawi, dan Persia. Yuhana bin Masawiyah, ditunjuk menjadi kepala proyek menterjemahkan teks-teks Suryani ke dalam bahasa Arab. Adapun teks-teks Persia yang mengupas tentang ilmu filsafat dan astronomi diterjemahkan oleh Abu Sahl al-Fadl bin Nubikht, sebagai penerus proyek Ibnu al-Muqaffa’. Perpustakaan ini menyerupai universitas yang bertujuan untuk membantu perkembangan belajar, mendorong penelitian, dan mengurusi terjemahan teks-teks penting. Koleksi buku Perpustakaan Baghdad berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid. Begitu pun kekhilafaan di Andalusia, Cordoba, dan sebagainya.

Ketika kekhilafaan Islam di kuasai negara lain, maka yang orang barat lakukan adalah membakar perpustakaan – perpustakan megah tersebut. Karena mereka tau, bahwa sumber kekuatan kita terdapat pada pengetahuan yang terkandung dalam perpustakaan tersebut. Lantas bagaimana dengan kita di Indonesia? Setidaknya kita akan menemukan perpustakaan yang sepi pengunjung, buku yang kusam dikarenakan tak di baca serta koleksi buku yang usang.


Keterbelakangan bangsa kita tidak lepas dari rendahnya minat baca yang di miliki. Hal ini bisa diliat dari data Peringkat minat baca Indonesia dalam data World's Most Literate Nations berada di urutan 60 dari 61 negara. Peringkat tersebut merupakan hasil penelitian dari Central Connecticut State University tahun 2016. Selain itu, pada tahun 2012 Unesco melansir index tingkat membaca orang Indonesia yang hanya 0,001. Itu artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius. Ini merupakan hal yang sangat memprihatikan, sehingga sebuah kewajaran jika Indonesia menjadi negara terbelakang.


Bukankah pendidikan dimulai dari keluarga? Ini adalah argumentasi yang tak terbantahkan. Namun argumentasi ini sepertinya tanpa realitas.  Sebab ruang – ruang pendidikan keluarga hari ini sepertinya tak berjalan dengan baik. Orang tua lebih suka membawa anak – anaknya ke Mall serta tempat liburan. Begitu pun ketika anaknya berprestasi di sekolah, justru di beri hadiah sebuah sepeda, diajak nonton di bioskop dan sejenisnya. Lebih menyedihkan lagi, rumah sebagai pusat pendidikan tak di hiasi oleh rak – rak buku, hal ini membuat anak – anak tidak terbiasa dan menjadikannya hoby.

Kita tidak sedang menyalahkan perempuan sepenuhnya. Namun jika melihat realitas perempuan saat ini, mereka lebih suka ke Mall untuk berbelanja, mengoleksi trend busana terbaru. Lebih suka nongrong di cafe elit sambil begosip, disibukkan dengan pacaran serta menjadi pecandu film sinetron. Disisi lain, Aktivis dan organisasi perempuan disibukkan dengan wacana keterwakilan di Parlemen. Bahkan jatah 30 % masih dianggap kurang dan terus diperjuangkan. Belum lagi posisi – posisi strategis di pemerintahan di tuntut untuk harus memeri “jatah” untuk kaum perempuan.

Organisasi sekelas Asyiyah, Muslimat Nahdatul Ulama, dan organisasi keperempuan yang menekankan pada kegiatan sosial pun mulai kurang diminati. Justru mereka banyak memilih untuk fokus meniti karir dan mencari uang sebanyak banyaknya untuk bersenang – senang.


Mindset  pentingnya literasi harus di bangun di kalangan perempuan. Kwalitas perempuan tentunya harus di letakkan pada dasar intelektualitas dan spiritualitasnya. Olehnya itu sepatutnya perempuan untuk lebih fokus pada pengembangan intelektual serta menjaga pergaulan dan lingkungan ditempat yang tepat. Yang perlu dilakukan bukan sekedar membaca, bukan sekedar menulis untuk menggugurkan tugas belajar maupun kuliah. Tetapi lebih pada proses pembiasaan  hidup, yang selanjutnya menjadi tradisi.

Jika menjadi tradisi, spirit literasi akan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita. Tradisi ini akan membentuk karakter dan lingkungan kita yang bernuansa literasi, jika kelak menjadi seorang ibu maka akan menularkan ke anak – anaknya. Sebab ibu memiliki kedekatan emosianal dengan anak – anaknya. Begitu pun dalam menata rumah tangga, perempuan lebih berperan dalam menata hal teknis. Inilah yang harus menjadi prioritas perempuan saat ini. 

Untuk merebut masa depan, perempuan harus menjadikan literasi sebagai pondasi. Sebagaimana peradaban yang maju dikonstruk oleh tradisi ini. Selain melahirkan generasi emas dari rahimnya, kwalitas intelektual juga akan mengangkat derajat dengan sendirinya di ruang – ruang publik. Tak mesti dengan Undang – undang, kwalitas intelektual perempuan akan mengantarkan keparlemen dengan sendirinya.

0 komentar:

Post a Comment