Oleh : Rizal Pauzi
Sejarah
manusia adalah sejarah aksara. Dimulainya babak baru kehidupan manusia modern
di mulai dengan dikenalnya tulisan. Disaat itu pulalah manusia purba dianggap
berakhir. Aksara ini kemudian berkembang menjadi tradisi literasi. Aksara tak
sekedar di tulisan, tetapi juga sebagai alat mewariskan pengetahuan kepada generasi berikutnya. Ruang – ruang
literasi ini kemudian menjadi sebuah babak penting dalam kebangkitan peradaban
umat manusia.
Dalam
Islam, tentunya Literasi bukan merupakan sesuatu yang asing. Ayat
yang pertama Alquran yang diturunkan di
Gua Hira tersebut juga merupakan landasan filosofis literasi. Perintah Iqra
(membaca) menandakan bahwa landasan Islam adalah membaca. Sambungan ayat
dilanjutkan dengan bismirabbikalasihhalaq (dengan (menyebut) nama tuhanmmu yang
menciptakan). Dalam artian bahwa segala pengetahuan yang di peroleh dalam
proses membaca harus disandarkan pada sang pencipta. Pencapaian pengetahuan dan
sains yang dimiliki harus menambah keyakinan kita akan kekuasaan Allah SWT.
Sejarah manusia dalam
kajian ilmu sejarah dan ajaran
Islam sejalan terkait pentingnya Literasi. Sehingga wajar jika bangsa yang maju
pasti menghargai dan mengembangkan tradisi literasi di Negaranya masing –
masing. Kita bisa menyaksikan kejayaan Islam di masa Khilafah Abbasiyah.
Khilafah ini memiliki Perpustkaan Ait
al-Hikmah di Baghdad. Di perpustakaan ini terdapat ruangan khusus
untuk menerjemahkan manuskrip kuno dari Yunani, Romawi, dan Persia. Yuhana bin
Masawiyah, ditunjuk menjadi kepala proyek menterjemahkan teks-teks Suryani ke
dalam bahasa Arab. Adapun teks-teks Persia yang mengupas tentang ilmu filsafat
dan astronomi diterjemahkan oleh Abu Sahl al-Fadl bin Nubikht, sebagai penerus
proyek Ibnu al-Muqaffa’. Perpustakaan
ini menyerupai universitas yang bertujuan untuk membantu perkembangan belajar,
mendorong penelitian, dan mengurusi terjemahan teks-teks penting. Koleksi buku
Perpustakaan Baghdad berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid. Begitu pun
kekhilafaan di Andalusia,
Cordoba, dan sebagainya.
Ketika kekhilafaan Islam
di kuasai negara lain, maka yang orang barat lakukan adalah membakar
perpustakaan – perpustakan megah tersebut. Karena mereka tau, bahwa sumber
kekuatan kita terdapat pada pengetahuan yang terkandung dalam perpustakaan
tersebut. Lantas bagaimana dengan kita di Indonesia? Setidaknya kita akan
menemukan perpustakaan yang sepi pengunjung, buku yang kusam
dikarenakan
tak di baca serta koleksi buku yang usang.
Keterbelakangan
bangsa kita tidak lepas dari rendahnya minat baca yang di miliki. Hal ini bisa
diliat dari data Peringkat minat baca Indonesia dalam data World's Most
Literate Nations berada di urutan 60 dari 61 negara. Peringkat tersebut
merupakan hasil penelitian dari Central Connecticut State University tahun 2016. Selain
itu, pada tahun 2012 Unesco melansir index tingkat membaca orang Indonesia yang
hanya 0,001. Itu artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau
membaca buku dengan serius. Ini merupakan hal yang sangat memprihatikan,
sehingga sebuah kewajaran jika Indonesia menjadi negara terbelakang.
Bukankah
pendidikan dimulai dari keluarga? Ini adalah argumentasi yang tak terbantahkan.
Namun argumentasi ini sepertinya tanpa realitas. Sebab ruang – ruang pendidikan keluarga hari
ini sepertinya tak berjalan dengan baik. Orang tua lebih suka membawa anak –
anaknya ke Mall serta tempat liburan. Begitu pun ketika anaknya berprestasi di
sekolah, justru di beri hadiah
sebuah sepeda,
diajak
nonton di bioskop dan sejenisnya. Lebih menyedihkan lagi, rumah sebagai pusat
pendidikan tak di hiasi oleh rak – rak buku, hal ini membuat anak – anak tidak
terbiasa dan menjadikannya hoby.
Kita
tidak sedang menyalahkan perempuan sepenuhnya. Namun jika melihat realitas
perempuan saat ini, mereka lebih suka ke Mall untuk berbelanja, mengoleksi
trend busana terbaru. Lebih suka nongrong di cafe elit sambil begosip,
disibukkan dengan pacaran serta menjadi pecandu film sinetron. Disisi lain,
Aktivis dan organisasi perempuan disibukkan dengan wacana keterwakilan di
Parlemen. Bahkan jatah 30 % masih dianggap kurang dan terus diperjuangkan.
Belum lagi posisi – posisi strategis di pemerintahan di tuntut untuk harus
memeri “jatah” untuk kaum perempuan.
Organisasi
sekelas Asyiyah, Muslimat Nahdatul Ulama, dan organisasi keperempuan yang
menekankan pada kegiatan sosial pun mulai kurang diminati. Justru mereka banyak
memilih untuk fokus meniti karir dan mencari uang sebanyak banyaknya untuk
bersenang – senang.
Mindset pentingnya literasi harus di bangun di
kalangan perempuan. Kwalitas perempuan tentunya harus di letakkan pada dasar
intelektualitas dan spiritualitasnya. Olehnya itu sepatutnya perempuan untuk
lebih fokus pada pengembangan intelektual serta menjaga pergaulan dan
lingkungan ditempat yang tepat. Yang
perlu dilakukan bukan sekedar membaca, bukan sekedar menulis untuk menggugurkan
tugas belajar maupun kuliah. Tetapi lebih pada proses pembiasaan hidup, yang selanjutnya menjadi tradisi.
Jika
menjadi tradisi, spirit literasi akan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.
Tradisi ini akan membentuk karakter dan lingkungan kita yang bernuansa
literasi, jika kelak menjadi seorang
ibu maka akan menularkan ke anak – anaknya. Sebab ibu memiliki kedekatan
emosianal dengan anak – anaknya. Begitu pun dalam menata rumah tangga, perempuan lebih berperan dalam
menata hal teknis. Inilah yang harus menjadi prioritas perempuan saat ini.
Untuk
merebut masa depan, perempuan harus menjadikan literasi sebagai pondasi.
Sebagaimana peradaban yang maju dikonstruk oleh tradisi ini. Selain melahirkan
generasi emas dari rahimnya, kwalitas intelektual juga akan mengangkat derajat
dengan sendirinya di ruang – ruang publik. Tak mesti dengan Undang – undang,
kwalitas intelektual perempuan akan mengantarkan keparlemen dengan sendirinya.
0 komentar:
Post a Comment