Oleh : Esye Yusuf Lapimen
Sebelum listrik berada di desaku. Lampu dan segala peralatan
elektronik lainnya belum bisa dinyalakan. Saat gelap malam tiba sempurna, para penduduk malas beranjak ke luar
rumah. Mereka
berdiam diri, melepas lelah setelah bekerja seharian. Tidak ada hiburan bagi
mereka seperti sekarang.
Kaum perempuan memilih berbaring di ruang tengah bersama ibunya,
menyalakan pelita lalu memandangi cahayanya. Sedangkan para lelaki, memilih duduk
di teras rumah, menantang malam bersama ayahnya, melinting tembakau lalu menyalakan korek api. Di antaranya,
sesekali saling melirik cahaya-cahaya kecil pada ujung rokok yang semakin
memerah saat mereka isap.
Suatu waktu, tersiar kabar akan diadakan pesta pernikahan salah satu anak penduduk di desaku. Hajatannya
akan berlangsung di malam hari. Konon, waktu itu, merupakan kali pertama,
hajatan dilangsungkan pada malam hari. Jika demikian, hajatan itu terancam
sepi. Sebab, para penduduk enggan beranjak ke luar rumah saat gelap malam tiba
sempurna. Pemilik hajatan itu bernama, Daeng Tiro.
Rupanya, Daeng Tiro bukan tanpa perhitungan. Sebagaimana namanya, yang mempunyai
arti, mampu melihat. Daeng Tiro melihat dengan jelas segala pergerakan bulan
dan matahari. Penanggalannya
terbilang tepat. Saat hajatan berlangsung, bulan bersinar sempurna mengalahkan
gelap malam yang tiba sempurna. Selain itu, pemilik hajatan juga telah
mempersiapkan musik hiburan. Pakkacaping.
Berdatanganlah penduduk dari berbagai arah mata angin. Mereka datang
dengan menggunakan pakaian putih-putih. Mungkin saja, mereka takut tidak terlihat di dalam gelap.
Saat pesta berlangsung, bunyi
nyaring petikan kecapi membuai
hadirin. Suara pelantun syair membawakan kerinduan dan mengobati sepi.
Orang-orang tua, duduk paling depan. Meresapi petikan-petikan dawai tentang kisah-kisah sedih para pelaut.
Kakek buyutnya. Sedangkan, para pemuda-pemudi duduk di kursi belakang, bahkan
ada yang berdiri. Takjub akan nasihat-nasihat dan cerita kepahlawanan leluhur yang
dikemas dengan jenaka melalui pelantun syair. Meski tidak mengenal, siapa dan
bagaimana asal usul mereka yang disebutkan si pelantun.
###
Listrik telah berada di desaku. Lampu dan
segala peralatan elektronik lainnya, sudah bisa dinyalakan. Saat gelap malam tiba sempurna, para penduduk
tidak lagi malas beranjak ke luar rumah. Mereka leluasa mengunjungi kerabat tanpa batas waktu. Selama lampu masih menyala di rumah, silahkan bertamu.
Setiap penduduk, merasa segalanya
menjadi mudah. Jika mereka butuh hiburan, mereka menyalakan televisi. Jika mereka
haus, mereka mengambil air
es dari mesin pendingin. Jika mereka lapar, mereka menanak nasi melalui Rice Cooker. Jika pakaiannya kotor, mereka tidak lagi ke pinggir sungai, cukup
dengan menyalakan mesin cuci. Dan, menyedot air sungai dengan pompa air,
menyolok kabel mesin pada listrik. Air datang dengan sendirinya.
Suatu waktu, akan diadakan pesta pernikahan oleh salah satu
anak penduduk desa. Hajatannya akan berlangsung di malam hari. Konon, hal tersebut
sudah sangat sering terjadi, semenjak listrik telah berada di desaku. Apalagi yang ditakutkan untuk berkegiatan di malam hari? Takut gelap?
Bola lampu akan memberikan cahaya sesuai keinginan.
Saat itu, hajatan dipersiapkan sangat meriah. Pemilik hajatan menyewa group musik
penghibur, Electon lengkap dengan
biduannya. Katanya, biduan itu adalah perempuan yang cantik dan seksi, dia akan
bernyanyi sambil menari jingkrak-jingkak di atas panggung. Olehnya, seluruh
lelaki di desaku bahu membahu
membuat panggung yang kuat, agar tidak
roboh saat biduan beraksi.
Saat hajatan dimulai, mereka
beramai-ramai ingin menyaksikan pertunjukan musik tersebut untuk pertama kalinya. Tua dan muda tumpah ruah di
jalanan, sebab tempat duduk yang disediakan tidak lagi cukup. Bahkan, halaman
rumah pemilik hajatan penuh sesak penduduk dari segala penjuru. Bukan hanya
dari penduduk desa setempat, tetapi juga dari penduduk desa lainnya.
Setelah hajatan selesai. Laki-laki
desa mulai ramai membicarakan bentuk tubuh para biduan dengan
sembunyi-sembunyi, rupanya mereka takut dengan perempuan-perempuannya. Imnyung, suami beranak lima, bahkan menyebut, jika tubuh biduan malam itu, telah memantulkan cahaya rembulan
ke matanya. Sinarannya begitu silau tetapi menyejukkan mata. Sementara Jarre,
laki-laki ompong yang
mengaku telah merasakan semangat cintanya mulai
bertunas lagi. Saat melihat biduan, dia merasa telah sembuh dari pikunnya, tetapi telah melupakan
istrinya.
Elekton pertama malam
itu, menjadi inspirasi bagi seluruh penduduk, sebagai tips dan kiat-kiat untuk meramaikan hajatan
yang akan berlangsung. Tidak heran,
setiap mereka
yang hendak menggelar hajatan, rela menguras uang demi menyewa elekton. Bahkan,
meminjam jika uang miliknya belum cukup. Acara syukuran, hakikah, khitanan,
pernikahan, bahkan kematian, semuanya dihibur dengan elekton.
Semakin sering elekton yang tampil di desaku. Semakin banyak pula, perbincangan
tentang biduan. Sampai juga perbincangan itu ke telinga para perempuan-perempuannya. Mereka mulai cemburu dengan para
biduan-biduan
yang dibicarakan suami-suaminya. Akhirnya, dilarangnya suami-suami mereka untuk menonton elekton lagi. Tentu saja, itu tidak mudah.
Jamilah, Istri Museng, adalah perempuan yang paling
uring-uringan jika suaminya hendak keluar rumah saat pertunjukan elekton sementara berlangsung, entah itu
di desanya sendiri ataukah di desa tetangga.
Jika suaminya mencoba menuruni
tangga rumah, dia akan berteriak sejadi-jadinya. Perempuan tetangga akan keluar
dari rumah mereka masing-masing, menyaksikan apa yang sementara terjadi. Lalu paham dan ikut berjaga-jaga di teras, mengawasi
jangan sampai suaminya kabur.
Meski para suami-suami diawasi, elekton tetap saja ramai penonton.
Ada-ada saja alasan
para
suami-suami untuk lepas dari pengawasan istri-istri mereka. Ada yang beralasan ingin melakukan
ronda malam, ada yang beralasan ingin menjaga kebun dari babi, ada yang
beralasan ingin mengecek mesin perahu, bahkan ada yang beralasan ingin
menjenguk teman yang sakit.
Tetapi buntutnya, mereka menonton para biduan.
Langkasa contohya, lelaki ini dilempar sandal jepit oleh istrinya
saat berada di tengah kerumunan penduduk. Tepat di depan panggung elekton, lelaki tanpa
gigi depan itu, terlihat cengingisan saat mencoba tersenyum, spontan kaget saat
sandal jepit mendarat di mukanya. Dicarinya, siapa pelaku yang telah berani
mempermalukannya
di depan umum. Saat melihat istrinya bertolak pinggang dari kejauhan, dipilihnya
untuk lari terbirit-birit meninggalkan pertunjukkan.
“Dasar lelaki jahannam, katanya
ingin menjaga kebun ternyata menjaga biduan,” teriak istrinya yang memburu dari belakang.
Ternyata, bukan hanya istri Langkasa
yang mengalami nasib dibohongi suami karena biduan. Istri Jamarro, Ida, juga
pernah mengalami hal yang sama. Saat itu, suami minta izin untuk mencari
sapinya yang hilang di puncak bukit. Sementara itu, Ida bersama
perempuan-perempuan desa menghadiri undangan pernikahan yang ditujukan
kepada rumah tangganya. Naas, dilihatnya suaminya celingak-celinguk di pingir jalan,
berusaha melihat biduan yang semakin beringas di atas panggung. Dihampirinya
lelaki itu, menjewer telinganya, sambil berkata, “Sapimu kesasar di gunung
biduan itu? Huh?”
Semakin resahlah para perempuan
dengan biduan. Akhirnya, mereka mengadukan hal tesebut kepada kepala desa.
Meminta agar pemilik hajatan yang mengundang biduan, tidak mengundang biduan
yang berpakaian tidak jadi. Sebab, itu akan merusak iman suami-suami mereka. Kepala desa
mengiyakan dan menulis surat kepada
pemilik elekton. Ditulisnya bahwa
siapapun elekton yang hendak bermain di desaku, harus membawa biduan yang sopan.
Bingunglah pemilik elekton, mereka
mengirim surat balasan.
Dalam surat balasan, ditulisnya, jika selama
ini, pihaknya telah sopan saat mengunjungi tiap-tiap desa. Di akhir suratnya,
pemilik elekton menuliskan bahwa pihaknya telah tersinggung.
Mereka merasa bahwa kepala desa telah melecehkan profesi penyanyinya
dengan tuduhan tidak sopan.
Kepala desa pun mengirimkan surat
balasan, dikatakannya, bukan maksud untuk menyebut pihak elekton tidak sopan. Melainkan meminta untuk memakai pakaian yang
sopan. Surat terakhir kepala desa pun dimengerti. Saat mengunjungi kampung itu
lagi. Biduan memakai pakaian yang menurutnya sopan. Kaos oblong ketat dan
celana jeans. Lelaki desa semakin kepanasan melihatnya. Perempuan desa semakin
kesetanan terhadap suaminya.
Begitulah seterusnya, pesta-pesta
semakin meriah saat elekton dihadirkan
sebagai penghibur. Mereka telah melupakan desaku yang dahulu. Jauh sebelumnya, sebelum listrik
berada di desaku, semua hajatan
dilangsungkan di siang hari, kecuali satu hajatan dengan hiburan Pakkacaping di bawah sinar bulan yang sempurna. Mereka tidak lagi
butuh musik itu. Mereka butuh
hiburan yang
lebih meriah, dan listrik telah menjawabnya.
Saat-saat seperti itu, tersiar
kabar. Akan dilaksanakan pernikahan cucu Daeng Tiro, Serli. Pernikahan tersebut
akan dilaksanakan pada malam hari, saat bulan bersinar sempurna mengalahkan
malam dengan gelap sempurna. Tidak akan ada elekton
dalam hajatan tersebut, orang tuanya akan mengundang pakkacaping. Hajatan terancam sepi.
Serli tidak menerima, dia merengek
kepada bapaknya agar pestanya menampilkan elekton
pula. Tetapi, bukan anak Daeng
Tiro jika
menerima begitu saja. Sebab, jauh sebelum pesta perkawinan anaknya terancam
sepi. Hal serupa pernah dialaminya. Saat itu, ayahnya, bersikukuh untuk
melangsungkan hajatan di malam hari. Percaya bahwa waktu tersebut baik, serta
percaya akan penglihatannya tentang waktu yang tepat dan tidak takut akan pesta
yang sepi.
“Tetapi ini beda bapak,” Serli merengek. “Waktu itu belum
ada listrik, jadi pestanya terancam sepi. Untung ada sinar bulan, jadi mereka
tidak takut untuk melangkah ke luar rumah. Tetapi sekarang, listrik sudah ada, semua
peralatan bisa dinikmati. Penduduk mau datang, jika ada hiburan. Jika pakkacaping, seperti yang bapak
inginkan. Hajatan ini akan betul-betul sepi,” jelasnya.
Bapaknya tetap tidak peduli. Dia telah berketetapan hati.
“Biarlah terlihat sepi, asal bukan jiwa ini yang sepi,” kata bapaknya,
sekaligus sebagai kesimpulan pembicaraan mereka berdua.
Serli menerima keputusan bapaknya, meski tetap yakin bahwa
pestanya akan sepi. Dan, saat hari itu tiba. Semenjak pagi, tidak seorang pun
penduduk desa yang mendatangi rumahnya, menawarkan jasa pembuatan panggung
hiburan. Hanya keluarga terdekat saja yang lalu lalang, bolak-balik,
masuk-keluar rumah, mempersiapkan segalanya. Perlahan, matahari bergerak menuju
laut, sebentar lagi malam akan tiba. Saat gelapnya sempurna, hajatan akan
segera dimulai.
###
Penduduk desa berhamburan ke luar rumah. Semuanya mendongak
ke langit, ada yang aneh malam itu. Sementara lengkingan suara kecapi
membelai-belai gendang telinga, mereka tidak peduli. Mereka terus mendongak ke
langit. Dilihatnya, langit seperti sedang terjadi pertempuran. Cahaya-cahaya
berkilau, saling sambar menyambar. Cahaya itu menyerupai bintang yang semakin
mendekat ke bumi, tetapi saling memotong jalan, serta saling berbalas. Jika,
dua cahaya yang mirip bintang itu bertemu, terjadi percikan yang mirip kembang
api. Penduduk terkaget-kaget, baru pertama kali mereka melihat hal seperti itu.
Api bergerombol-gerombol, lalu berpencar-pencar dan berhamburan di langit.
“Sebentar lagi kiamat, bintang sudah berjatuhan menuju
bumi,” teriak seorang penduduk sambil berlari, beberapa penduduk mengikut di
belakangnya. “Ayo ke bukit, di sana ada gua. Minimal selamat dari sengatan
panasnya cahaya bintang,” seru penduduk lainnya.
Penduduk yang mendengarnya, ikut berlari. Mereka ingin cepat
mencapai bukit, masuk ke dalam gua dengan segera. Mereka ingin menyaksikan desa
hangus karena panasnya cahaya ribuan bintang dari atas bukit.
Keluarga Daeng Tiro tetap saja melangsungkan hajatan. Alunan
kecapi semakin membuai mereka, syair-syair nasihat membuat pendengarnya tidak
bergeming. Suaranya menembus telinga dan menenangkan hati. Tanpa mereka sadari,
di luar halaman rumah, telah datang orang-orang berpakaian putih-putih. Mereka
ikut menimati alunan musik dan syair. Waktu terus bergerak, jumlah mereka terus
bertambah.
Berlahan mereka memasuki halaman rumah pemilik hajatan. Dia
memilih duduk di kursi paling depan. Semua pihak keluarga heran, dan tidak ada
mengenal seorang pun tamu yang datang. Dalam benaknya, ini adalah rombongan
pecinta kecapi yang datang untuk menikmati petikan tiap petikan, bait tiap
bait, syair tiap syair. Tetapi semakin lama, semakin bertambah banyak. Kursi
paling depan telah terisi semuanya, mereka mengisi kursi di deretan kedua.
Begitu seterusnya, hingga kursi semua terisi. Diduduki tamu aneh, semua berbaju
putih.
Di halaman, masih banyak lagi orang berbaju putih. Mereka
berdiri menyesaki halaman. Semakin heranlah bapak Serli selaku pemilik hajatan.
Mengapa tamunya semakin ramai dan semuanya berbaju putih? Dia mencoba keluar
halaman untuk melihat dari mana asal kedatangan tamu berbaju putih itu.
Dipandanginya arah kiri dan kanan jalan. Dia sangat kesulitan untuk melihat
dari mana asal tamu-tamunya. Semua sisi jalan dipenuhi orang berbaju putih.
Bertambah dan bertambah, semakin bertambah pula keherangannya.
Tiba-tiba, dilihatnya cahaya jatuh dari ujung kerumunan
tamunya. Dia mendongak ke atas, ke langit. Cahaya putih menyerang hajatannya.
Dia kaget, dia berlari ketakutan, melewati kerumunan para tamu berpakaian
putih, masuk ke rumah. Dia berteriak ketakutan. “Ta...ta...tamunya, tamunya,
se...se...semuanya berpakaian putih, semuanya dari langit,” katanya dengan
terbata-bata.
Seluruh keluarga pemilik hajatan panik dan berlari ke luar
rumah, menuju tepi jalan. Mendongak ke atas, ke langit. Lengkingan suara kecapi
membelai-belai gendang telinga, mereka tidak peduli. Mereka terus mendongak ke
langit. Dilihatnya, langit seperti sedang terjadi pertempuran. Cahaya-cahaya
berkilau, saling sambar menyambar. Cahaya itu menyerupai bintang yang semakin
mendekat ke bumi, tetapi saling memotong jalan, serta saling berbalas. Jika,
dua cahaya yang mirip bintang itu bertemu, terjadi percikan yang mirip kembang
api. Meraka terkaget-kaget. “Apa yang sedang terjadi?” mereka saling bertanya.
Namun, tidak ada yang menjawab.
###
Penduduk yang berlari telah sampai ke puncak bukit. Sebelum
memasuki gua, mereka menengok ke arah desa. Cahaya-cahaya putih itu terlihat
mengepung sebuah lokasi dan membentuk lingkaran. “Lihat, tempat itu, tempat
itu, itu rumah Daeng Tiro, cahaya putih mengepungnya,” teriak seorang penduduk.
Seluruh pasang mata pun tertuju ke lokasi yang dimaksud. Mereka merinding dan
saling bertanya, “Apa yang sedang terjadi?” Namun, tidak ada yang menjawab.
“Leluhur kembali,” seorang mengeluarkan suara dan mengundang
tanya baru bagi penduduk desaku. Suara itu dari lelaki tua yang sudah lama
ditinggal mati istrinya. Konon, kakek itu adalah bekas tentara pembela tanah
air. Namun, dia hanya berjuang di desanya.
“Siapa?” penduduk hampir bersamaan.
“Iya, siapa?” tanya seorang lagi yang ingin memperjelas.
“Cahaya putih itu. Adalah leluhur yang telah mati. Dia
datang lagi, dia dipanggil oleh suara kecapi,” katanya. Penduduk semakin heran.
Ada yang percaya dan ada yang tidak percaya. “Mereka adalah pelaut-pelaut
ulung, prajurit-prajurit laut yang ikut berperang dengan gagah berani. Mereka
telah menghabiskan hidupnya di tengah laut,” jelasnya.
Penduduk semakin bingung, kakek itu melanjutkan ceritanya,
“mereka telah banyak bersedih, meninggalkan kampung halaman, meninggalkan
rumah, meninggalkan istri, meninggalkan anak, semuanya. Dia mengobati
kesedihannya dengan caranya sendiri. Waktu itu, mereka mengikatkan tali-tali
layar yang tersisa pada tiap ujung-ujung perahunya, lalu memetiknya, menghasilkan
bunyi dan melantunkan syair-syair tentang gelombang, laut, bintang, dan angin.
Kadang mereka saling mengingatkan, saling menasihati. Nasihatnya pun mereka
nyanyikan masing-masing. Mereka terhibur sedikit demi sedikit, tetapi jiwa dan
raganya masih merindukan kampung halaman, rumah, istri dan anak-anaknya,” jelas
kakek itu.
“Mengapa mereka tidak pulang? Di mana kampungnya?” seorang
anak-anak tiba bertanya.
“Asalnya bermacam-macam, ada juga dari desa ini. Mereka
telah dipersatukan oleh kuatnya gelombang Selat Mengkasar. Mereka sangat ingin
pulang. Mereka rindu semuanya. Tetapi bagi mereka, sekali layar terkembang.
Pantang untuk memutar kemudi, dan balik ke pantai. Sebesar apapun ombak
menerjang, sekeras apapun badai melanda. Baginya, tujuan adalah yang utama.
Mereka telah merasakan bahwa kematian telah begitu dekat, tetapi mereka tidak
mau menyerah. Mereka adalah orang-orang pilihan. Sayangnya, sebelum mereka
bertemu dengan yang dirindukannya, kematian telah merindukannya terlebih
dahulu,” kakek berhenti sejenak, nafasnya tersenggal-senggal. Dia kemudian
melanjutkan ceritanya, “ada... Ada yang selamat waktu,” suara bergetar. “Dia
kembali dan membuat kecapi. Dengan kecapi, dia bernyanyi. Bernyanyi sambil
bercerita tentang semangatnya di tengah laut, sekaligus memperdengarkan
kesedihannya.”
“Lalu, mengapa mereka kembali saat ini?” tanya seorang lagi.
“Kecapi adalah pengobat rindunya. Dan, mereka ingin
berobat,” jawabnya.
“Aku ingin melihat wajahnya,” tiba-tiba seorang anak lelaki
tujuh tahunan berteriak sambil berlari menuruni bukit. Sangat cepat, secepat
rasa penasarannya. Melihatnya, bapaknya berusaha memburu anak itu dari
belakang, ingin menangkapnya dan membawanya kembali ke bukit. Bapaknya tentu
takut bila anaknya mengalami kejadian yang tidak diinginkan. Karena kaget,
ibunya menyusul mereka berdua. “Jangan. Jangan ke sana,’ teriaknya.
Anak itu terus berlari dengan kencang, bapaknya yang sudah
tua, sangat kewalahan memburunya. Nafasnya tersenggal-senggal. Melihat adegan
buru memburu itu, seorang penduduk berniat membantu. Namun, istrinya tidak
menerima begitu saja jika suaminya berlalu pergi. Dia ikut memburu suami. Entah
bagaimana lagi, kejadian tersebut menjadi adegan saling buru memburu. Semua
penduduk desa terlibat, kecuali kakek tua itu.
“Di mana mereka pak?” tanyanya anak itu, saat sampai di
rumah pemilik hajatan.
Bapaknya yang baru saja tiba, mengela nafas panjang.
Ngos-ngosan. “Dia telah kembali, nak. Pestanya telah selesai,” jawabnya.
###
Penduduk yang saling memburu, mulai berdatangan satu persatu
dengan nafas tersenggal-senggal.
Di luar rumah, terlihat bapak Serli membersihkan segala
peralatan. Dia menoleh kepada suara-suara nafas yang tidak beraturan, tepat di
balakangnya. “Maaf kecapinya telah selesai. Aku sangat berterima kasih, kalian
mau meramaikan pesta anak kami. Silahkan masuk,” kata Bapak Serli.
Penduduk terheran-heran. Dicarinya cahaya yang mengepung
hajatan tersebut, namun tidak menemukan apa-apa. Mereka saling bertanya, tetapi
tidak ada yang menjawab.
Satu persatu, penduduk kembali ke rumah masing-masing. Malam
itu, bulan bersinar sempurna mengalahkan malam dengan gelap sempurna.
“Cahaya putih tadi sudah jadi satu, pak. Mereka menjadi
bulan penuh. Itu, terang sekali,” anak yang berlari sedari tadi, mengambil
kesimpulan sendiri.
###
Pemancar sinyal telah berdiri di desaku. Segalanya semakin mudah. Sisa memencet tombol-tombol angka saja,
semua akan terhubung. Entah saat terang matahari bersinar sempurna ataukah
gelap malam yang tiba sempurna. Dengan alat itu, para penduduk mengisi dayanya
dengan listrik. Telepon genggam. Dengannya, penduduk desaku bukan hanya leluasa
mengunjungi kerabat tanpa batas waktu. Melainkan leluasa menghubungi kerabat tanpa batas jarak.
Hampir seluruh penduduk telah memilikinya. Termasuk aku.
Sore itu, seorang teman meneleponku berbicara panjang lebar
dan bertanya beberapa hal. Salahsatunya dia menanyakan, kapan aku menikah dan
mau menyewa apa sebagai hiburan pernikahan kelak. Teman itu bernama,
Panji.
Aku menjawab tidak tahu. Sebab, setahuku elekton, telah dilarang oleh kepala
desaku. Sementara Pakkacaping. Entahlah,
katanya, leluhur telah mengambil kecapi terakhir pada sebuah pesta yang
sementara berlangsung di desaku.
“Kapan? Aku baru dengar?” Panji penasaran soal kecapi itu.
“Aku tidak tahu persis. Ceritanya begini. Konon, dulu
sebelum orang tuaku dan orang tuamu lahir. Leluhur yang telah membuat kecapi,
memanggil ribuan leluhur penikmat kecapi turun ke bumi. Mereka semuanya berbaju
putih-putih, bergerak menyerupai cahaya menyerang bumi. Merampas kecapi pada
sebuah hajatan yang sepi tanpa penduduk,” jelasku.
“Dirampas? Alasannya?” Panji terus bertanya.
“Katanya, mereka kecewa karena penduduk tidak menghadiri
hajatan tersebut, karena hiburannya hanya pakkacaping.
Padahal leluhur tahu, penduduk akan beramai-ramai menghadiri hajatan, jika
menyediakan elekton sebagai hiburan. Sejak itulah kecapi hilang selamanya.
Kau pernah melihat kecapi?”
“Belum. Bagaimana rupanya?” tanyanya lagi.
“Aku juga belum melihatnya. Kecapi sepertinya hilang ditelan
bumi, leluhur belum mengembalikannya kepada manusia yang masih hidup. Tetapi,
katanya mirip perahu. Berbunyi bila dipetik, dan pemetiknya, bernyanyi sambil
bercakap-cakap,” kataku. “Berapa umurmu sekarang, Panji?” aku balik bertanya.
“Dua puluh tahun,” jawabnya.
“Kenapa belum menikah?” kataku.
“Masih bingung juga, sewa elekton atau pakkacaping?”
“Panggillah pembaca
barzanji!” jawabku sebelum sambungan telepon terputus.





0 komentar:
Post a Comment