Oleh : Esye Yusuf Lapimen
Kasih sayang telah bermekaran usai pernikahannya dengan Wina, perempuan imut penyuka kerudung cerah. Memang seharusnya demikian, menyayangi istri, melindungi, apapun resikonya adalah kewajiban suami. Ia yang dahulunya pemarah, kini tak. Ia yang dahulunya emosional, kini tak. Sudah sepatutnya, ia harus pandai menyembunyikan amarah dan emosi.
Wina, perempuan yang dikenalinya selama tiga tahun lima bulan, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menikah. Perempuan yang telah mengenalkan makna setia, semenjak masa-masa mudanya. Namun, setelah pernikahannya, makna setia menjadi rumit. Hingga akhirnya, sulit baginya untuk merumuskan garis pemisah antara makna setia dan makna rumit. Terkadang, kesetiaan bermakna harus mempertahankan hubungan yang telah terjalin, di saat itu pulalah makna rumit menghampiri untuk mempertegas dirinya, bahwa mempertahankan hubungan adalah kerumitan yang sangat esensi. Jikalau kerumitan harus diacuhkan, itulah berarti kesetiaan harus pula ditanggalkan.
Terkadang Wina menyisakan amarah untuknya, ia sabar. Tak pantas baginya untuk memarahi seorang perempuan, apalagi perempuan itu adalah istrinya sendiri. Meskipun istrinya telah berlebihan, ia hanya mengelus dada, meredam emosi agar tak beruap. Sebab, bisa saja uapnya memanasi seisi rumah, dan di luar rumah, embun akan mengundang kabut hitam keruntuhan rumah tangga. Ia tak mau itu.
Suatu malam yang larut dalam gelap, Ia setia menunggu daun pintu berderik. Pandangannya terus menatap dalam, menyiapkan sekotak senyum untuk menyambut istrinya. Disimpannya kotak itu di dalam hatinya yang seketika berubah menjadi pink. Namun, istrinya tak kunjung datang hingga shubuh mampir terlebih dahulu mengetuk pelipisnya yang lelap. Selepas panggilan Adzan, suara istrinya belum juga terdengar, telinganya seketika menangkap sunyi. Ada gemuruh di dada dan semacam dentuman keras di batok kepala. Daun pintu menari-nari dan penglihatannya seketika memudar. Hatinya bimbang memilih warna; tetap menjadi pink atau kembali menjadi merah.
###
“Pak Rangga menderita gagal ginjal,” suara dokter seketika menakutkan. Segala ucapannya berubah menjadi dogma yang harus dituruti. Jika tak, kejadian selanjutnyalah yang semakin mengerikan.
“Gagal ginjal? Bukankah, ia tak mempunyai riwayat kesehatan terkait gangguan seputar ginjal, dok,” Rivai, kakak tertuanya mencoba bertanya kebenaran diagnosa dokter.
Dokter mengangguk sejenak sambil menyiapkan argumen untuk membuktikan diagnosanya tidak salah. Ia mengambil botol air mineral yang sedari tadi diletakkannya di meja, membuka tutupnya, menenguk sekali, lalu kemudian meletakkan kembali botol tersebut. “Mmmm….,” suaranya berat hingga ia harus menyandarkan tubuh pada kursi kerjanya. Telunjuk kanan memukul-mukul ujung bibirnya, sekali, dua kali, tiga kali, beberapa kali, tak terhitung. Sedangkan matanya memandang langit-langit sebelum kemudian tatapannya ditujukan kepada dua orang di depannya.
“Awalnya Ia menderita hipertensi,” dokter kembali berbicara dengan suara yang semakin berat, setelah hembusan nafas panjangnya. “Ya… tekanan darah tinggi. Ia sering marah, namun pandai menyembunyikan. Amarahnya ia pendam dan emosinya ia redam. Meski dirinya bergejolak, darahnya mendidih, dan urat-urat nadinya menegang, raut wajah yang seram berusaha ia sembunyikan. Memang matanya tak perlu melotot, dan suaranya tidak perlu kasar, tetapi batinnya rapuh,” dokter menjelaskan. Kedua orang di depannya saling berpandangan.
“Jadi Dok, ia sekarang bagaimana?” seorang perempuan tiba-tiba bertanya dengan gesa.
“Ibu, siapa?”
“Saya istrinya, dok,” jawabnya.
###
“Aku malu pak, malu sama keluarga. Hampir tiap bulan, tiap minggu bahkan tiap hari mereka bertanya, kapan punya anak? Nah… Ibu pak! Ibu…! Seringkali bertanya, kapan cucu saya lahir? Aku malu pak!” katanya sambil berlalu, memasuki kamar dan membanting pintu. Rangga menyusul istrinya ke dalam, di pintu ia berdiri lalu berkata lembut, “Ma… anak itu amanah Tuhan. Mungkin saja, kita belum diberikan amanah.”
Istrinya berbalik seperti ingin mencengkram, dia memandang suaminya dengan gigi taring di depan. “Sampai kapan!” bentaknya lalu meremas-remas rambutnya. “Sampai semua rasa malu ini berubah menjadi pasrah!” katanya sembari membuka lemari dan mengambil beberapa lembar pakaian. “Sudah empat tahun kita bersama. Hasilnya?” lanjutnya dengan tanya sebagai penutup.
“Mau ke mana, Ma?” tanya Rangga sembari mendekati istrinya, kalimatnya tidak di respon. Ia mencoba memegang pundak istrinya, ditolak, tangannya ditepis. Ia mundur dan memilih duduk di tepi ranjang memperhatikan tingkah istrinya yang sementara berkemas. Ia paham, istrinya akan pergi, bendungan di matanya pun pecah.
Saat itu, cintanya berubah menjadi badai. Datang sesaat dan menyapu semuanya, tak tersisa kecuali puing. Ia merasa dirinya sebagai lelaki bodoh, tak mampu menghalau kepergian orang yang dikasihinya, namun berharap kembali. Saat bayangan istrinya seketika memudar, ia setia menunggu daun pintu berderik. Pandangannya terus menatap dalam, menyiapkan sekotak senyum untuk menyambut istrinya. Disimpannya kotak itu di dalam hatinya yang seketika berubah menjadi pink.
Hingga badai susulan datang menyapa. Badai yang ingin menyapunya tanpa sisa, ia berusaha bertahan. Saat-saat itu, Ia memberikan isyarat kepada tetangganya agar ke rumah sakit. Tetangga itulah yang menghubungi sanak keluarganya, serta istrinya.
“Ia masih pingsan, bu,” kata tetangga itu, saat Wina bertanya keadaan suaminya melalui jaringan seluler.
“Aku akan menyusul ke sana,” timpal Wina sesaat sebelum pembicaraan singkat itu berakhir dan menyisakan sesal. Dalam benaknya berkecamuk, Ia telah menyalahkan dirinya sendiri yang meninggalkan suaminya seorang diri.
###
“Apa? Ia buta permanen?” Wina seketika kaget
“Iya, Bu. Tekanan darah yang merusak fungsi ginjal mangakibatkan sel-sel darah yang berasal dari ginjal ke mata tidak berfungsi secara optimal. Suami ibu sering mengalami sakit kepala yang terus menerus, akhirnya sakit itu telah terbiasa ia rasakan dan akhirnya ia menganggap sakit kepala itu telah menjadi bagian dari hidupnya, dan memutuskan untuk tidak mengeluh,” dokter menjelaskan.
“Bukan. Bukan itu, dok. Ia ingin mengeluh, tetapi aku tidak pernah mau menjadi pendengar yang baik untuknya,” Wina menyela dengan sesak. “Sudahlah, dok. Bagaimana selanjutnya?” katanya kemudian dengan sekali usapan tissue di pelipisnya.
“Karena sakit kepalanya telah terbiasa dan menganggap itu bukan persoalan. Berakibat fatal terhadap sel-sel darah di bagian mata. Hingga ia harus mengalami kebutaan. Maaf bu, penyakitnya sudah dalam kategori akut dan tidak bisa diusahakan untuk melihat kembali, kecuali…”
“Diganti. Aku siap! Gunakan mataku,” Wina memotong penjelasan dokter.
“Bukan itu, lagian percuma, bu. Tetap akan kembali rusak, sebab ginjalnya yang menjadi akar masalah,”
“Termasuk ginjal yang aku miliki. Aku siap! Ia telah banyak berkorban untukku,” Wina menatap dokter dengan dalam.
“Tidak semudah itu, bu,” dokter kembali bersandar di kursi kerjanya. Sementara Wina merasa semua kejadian adalah akibat dari tingkahnya. Penyalahan terhadap dirinya telah melampaui kebenaran nalarnya. Ia mencoba meyakinkan dokter.
“Kali ini saja, dok!”
Wina, perempuan yang dikenalinya selama tiga tahun lima bulan, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menikah. Perempuan yang telah mengenalkan makna setia, semenjak masa-masa mudanya. Namun, setelah pernikahannya, makna setia menjadi rumit. Hingga akhirnya, sulit baginya untuk merumuskan garis pemisah antara makna setia dan makna rumit. Terkadang, kesetiaan bermakna harus mempertahankan hubungan yang telah terjalin, di saat itu pulalah makna rumit menghampiri untuk mempertegas dirinya, bahwa mempertahankan hubungan adalah kerumitan yang sangat esensi. Jikalau kerumitan harus diacuhkan, itulah berarti kesetiaan harus pula ditanggalkan.
Terkadang Wina menyisakan amarah untuknya, ia sabar. Tak pantas baginya untuk memarahi seorang perempuan, apalagi perempuan itu adalah istrinya sendiri. Meskipun istrinya telah berlebihan, ia hanya mengelus dada, meredam emosi agar tak beruap. Sebab, bisa saja uapnya memanasi seisi rumah, dan di luar rumah, embun akan mengundang kabut hitam keruntuhan rumah tangga. Ia tak mau itu.
Suatu malam yang larut dalam gelap, Ia setia menunggu daun pintu berderik. Pandangannya terus menatap dalam, menyiapkan sekotak senyum untuk menyambut istrinya. Disimpannya kotak itu di dalam hatinya yang seketika berubah menjadi pink. Namun, istrinya tak kunjung datang hingga shubuh mampir terlebih dahulu mengetuk pelipisnya yang lelap. Selepas panggilan Adzan, suara istrinya belum juga terdengar, telinganya seketika menangkap sunyi. Ada gemuruh di dada dan semacam dentuman keras di batok kepala. Daun pintu menari-nari dan penglihatannya seketika memudar. Hatinya bimbang memilih warna; tetap menjadi pink atau kembali menjadi merah.
###
“Pak Rangga menderita gagal ginjal,” suara dokter seketika menakutkan. Segala ucapannya berubah menjadi dogma yang harus dituruti. Jika tak, kejadian selanjutnyalah yang semakin mengerikan.
“Gagal ginjal? Bukankah, ia tak mempunyai riwayat kesehatan terkait gangguan seputar ginjal, dok,” Rivai, kakak tertuanya mencoba bertanya kebenaran diagnosa dokter.
Dokter mengangguk sejenak sambil menyiapkan argumen untuk membuktikan diagnosanya tidak salah. Ia mengambil botol air mineral yang sedari tadi diletakkannya di meja, membuka tutupnya, menenguk sekali, lalu kemudian meletakkan kembali botol tersebut. “Mmmm….,” suaranya berat hingga ia harus menyandarkan tubuh pada kursi kerjanya. Telunjuk kanan memukul-mukul ujung bibirnya, sekali, dua kali, tiga kali, beberapa kali, tak terhitung. Sedangkan matanya memandang langit-langit sebelum kemudian tatapannya ditujukan kepada dua orang di depannya.
“Awalnya Ia menderita hipertensi,” dokter kembali berbicara dengan suara yang semakin berat, setelah hembusan nafas panjangnya. “Ya… tekanan darah tinggi. Ia sering marah, namun pandai menyembunyikan. Amarahnya ia pendam dan emosinya ia redam. Meski dirinya bergejolak, darahnya mendidih, dan urat-urat nadinya menegang, raut wajah yang seram berusaha ia sembunyikan. Memang matanya tak perlu melotot, dan suaranya tidak perlu kasar, tetapi batinnya rapuh,” dokter menjelaskan. Kedua orang di depannya saling berpandangan.
“Jadi Dok, ia sekarang bagaimana?” seorang perempuan tiba-tiba bertanya dengan gesa.
“Ibu, siapa?”
“Saya istrinya, dok,” jawabnya.
###
“Aku malu pak, malu sama keluarga. Hampir tiap bulan, tiap minggu bahkan tiap hari mereka bertanya, kapan punya anak? Nah… Ibu pak! Ibu…! Seringkali bertanya, kapan cucu saya lahir? Aku malu pak!” katanya sambil berlalu, memasuki kamar dan membanting pintu. Rangga menyusul istrinya ke dalam, di pintu ia berdiri lalu berkata lembut, “Ma… anak itu amanah Tuhan. Mungkin saja, kita belum diberikan amanah.”
Istrinya berbalik seperti ingin mencengkram, dia memandang suaminya dengan gigi taring di depan. “Sampai kapan!” bentaknya lalu meremas-remas rambutnya. “Sampai semua rasa malu ini berubah menjadi pasrah!” katanya sembari membuka lemari dan mengambil beberapa lembar pakaian. “Sudah empat tahun kita bersama. Hasilnya?” lanjutnya dengan tanya sebagai penutup.
“Mau ke mana, Ma?” tanya Rangga sembari mendekati istrinya, kalimatnya tidak di respon. Ia mencoba memegang pundak istrinya, ditolak, tangannya ditepis. Ia mundur dan memilih duduk di tepi ranjang memperhatikan tingkah istrinya yang sementara berkemas. Ia paham, istrinya akan pergi, bendungan di matanya pun pecah.
Saat itu, cintanya berubah menjadi badai. Datang sesaat dan menyapu semuanya, tak tersisa kecuali puing. Ia merasa dirinya sebagai lelaki bodoh, tak mampu menghalau kepergian orang yang dikasihinya, namun berharap kembali. Saat bayangan istrinya seketika memudar, ia setia menunggu daun pintu berderik. Pandangannya terus menatap dalam, menyiapkan sekotak senyum untuk menyambut istrinya. Disimpannya kotak itu di dalam hatinya yang seketika berubah menjadi pink.
Hingga badai susulan datang menyapa. Badai yang ingin menyapunya tanpa sisa, ia berusaha bertahan. Saat-saat itu, Ia memberikan isyarat kepada tetangganya agar ke rumah sakit. Tetangga itulah yang menghubungi sanak keluarganya, serta istrinya.
“Ia masih pingsan, bu,” kata tetangga itu, saat Wina bertanya keadaan suaminya melalui jaringan seluler.
“Aku akan menyusul ke sana,” timpal Wina sesaat sebelum pembicaraan singkat itu berakhir dan menyisakan sesal. Dalam benaknya berkecamuk, Ia telah menyalahkan dirinya sendiri yang meninggalkan suaminya seorang diri.
###
“Apa? Ia buta permanen?” Wina seketika kaget
“Iya, Bu. Tekanan darah yang merusak fungsi ginjal mangakibatkan sel-sel darah yang berasal dari ginjal ke mata tidak berfungsi secara optimal. Suami ibu sering mengalami sakit kepala yang terus menerus, akhirnya sakit itu telah terbiasa ia rasakan dan akhirnya ia menganggap sakit kepala itu telah menjadi bagian dari hidupnya, dan memutuskan untuk tidak mengeluh,” dokter menjelaskan.
“Bukan. Bukan itu, dok. Ia ingin mengeluh, tetapi aku tidak pernah mau menjadi pendengar yang baik untuknya,” Wina menyela dengan sesak. “Sudahlah, dok. Bagaimana selanjutnya?” katanya kemudian dengan sekali usapan tissue di pelipisnya.
“Karena sakit kepalanya telah terbiasa dan menganggap itu bukan persoalan. Berakibat fatal terhadap sel-sel darah di bagian mata. Hingga ia harus mengalami kebutaan. Maaf bu, penyakitnya sudah dalam kategori akut dan tidak bisa diusahakan untuk melihat kembali, kecuali…”
“Diganti. Aku siap! Gunakan mataku,” Wina memotong penjelasan dokter.
“Bukan itu, lagian percuma, bu. Tetap akan kembali rusak, sebab ginjalnya yang menjadi akar masalah,”
“Termasuk ginjal yang aku miliki. Aku siap! Ia telah banyak berkorban untukku,” Wina menatap dokter dengan dalam.
“Tidak semudah itu, bu,” dokter kembali bersandar di kursi kerjanya. Sementara Wina merasa semua kejadian adalah akibat dari tingkahnya. Penyalahan terhadap dirinya telah melampaui kebenaran nalarnya. Ia mencoba meyakinkan dokter.
“Kali ini saja, dok!”
0 komentar:
Post a Comment