Oleh : Zulfikar Hafid
Manusia meyakini bahwa terdapat kepemilikan cara hidup yang sangat berharga di dalam kehidupan. Cara hidup ini harus diwariskan kepada keturunan mereka, sehingga dibutuhkanlah suatu wadah pewarisan, yaitu pendidikan. Begitulah penyebab pelaksanaan pendidikan menurut I. N.Thut dan Don Adams dalam bukunya “Educational Patterns In ContemporarySocieties (2005)”. Jadi, diktum “pendidikan adalah proses memanusiakan manusia” tidaklah berlebihan. Ini karena pengembangan rasa dan kemauan yang dilakukan secara sadar, seperti yang diungkapkan Ki Hadjar Dewantara dalam buku “Menjadi Manusia Merdeka (2009)”, dilakukan dalam proses ini. Pengembangan rasio (akal) dan hati nurani yang merupakan piranti dialektika adalah garis besar objek-objek pendidikan. Sementara itu, kepemilikan piranti dialektika inilah hakikat kemanusiaan.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam premis-premis di atas. Premis tersebut yaitu, pertama, pendidikan adalah wadah pewarisan cara hidup manusia; kedua, proses pemanusiaan manusia yang berupa pengembangan rasio dan hati nurani ini dilakukan secara sadar, penuh kebahagiaan, keikhlasan, dan kemauan. Atas ini, realitas perlu ditinjau. Apakah pewarisan sisi kemanusiaan tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan premis kedua? Jika tidak, ini tentu merupakan masalah.
Pierre Bourdieu dalam“Reproduction in Education, Society, and Culture (1990)”menyampaikan pandangannya terkait realitas pendidikan. Pandangan Bourdieu ini berdasarkan pada riset epistemologis. Ia mengungkapkan, pendidikan yang dilaksanakan oleh sekolah merupakan penanggung jawab atas perubahan mau pun reproduksi ketidakmerataan sosial dan budaya. Ini karena sekolah harus memelihara pengetahuan dan pengalaman masa lalu (reproduksi), sementara reproduksi ini selalu lebih menguntungkan pihak dominan (penguasa modal, kelas atas, borjuis) yang mengontrol sumber-sumber ekonomi, sosial, dan politik. Sekolah selalu mempertahankan kebudayaan-kebudayaan pihak dominan karena kebudayaan inilah yang dianggap bernilai tinggi. Penilaian ini dapat dimafhumi, pihak dominan menguasai seluruh aspek kehidupan, maka superiorlah mereka, sementara itu, segala yang berkenaan dengan pihak dominan tersebut (kebudayaan) dianggap sebagai suatu idealitas atau bernilai tinggi.
Ungkapan Bourdieu tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan pihak dominan. Pihak dominan memanfaatkan pendidikan sebagai pelestari atau pelanggeng kekuasaan. Sementara itu, sekolah menerima begitu saja tindakan pihak dominan ini. Sekali lagi, ini karena tindak pihak dominan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang memang sudah semestinya atau wajar, maklumlah, pihak dominan adalah penguasa, pengendali, atau pengontrol kehidupan. Masyarakat jugalah yang menyetujui hal ini, meski sebenarnya penyetujuan ini karena masyarakat keliru mengenali (tidak menyadari) hal ini.
Kenyataannya, pendidikan, khususnya pengetahuan, memang rentan dengan kekuasaan. Sesuatu yang benar, sesuatu yang berlaku, yang selanjutnya menjadi konten pendidikan dan pengajaran, tidak jarang merupakan hasil dikte dari penguasa. Pihak dominan mendominasi, menyelubungi egoisme mereka dalam praktik pendidikan. Ini tentu merupakan dehumanisasi, pengingkaran atas hakikat kemanusiaan.
Realitas pendidikan seperti yang diungkapkan Bourdieu tentu bertentangan dengan premis Thut dan Adams, juga premis Dewantara. Cara hidup yang sangat berharga warisan manusia kepada keturunannya tentulah bukan kehidupan determinis terhadap pihak dominan atau kehidupan yang tertindas. Pendidikan memanusiakan manusia juga bukanlah suatu proses yang dilakukan dengan memanfaatkan ketidaksadaran dan ketertindasan atau ketidakberdayaan peserta didik atau masyarakat. Pendidikan harus mentransformasikan kebudayaan yang benar-benar baik tanpa pengarahan pihak dominan yang terselubung memanfaatkan ketidaksadaran. Pendidikan harus sejalan dan menyanggah hakikat kemanusiaan. Pendidikan harus memanusiakan manusia.
Salah satu konsep pendidikan yang perlu direnungi dan diaplikasikan adalah pandangan seorang sosiolog pendidikan asal Brasil, Paulo Freire. Dalam bukunya, “Pendidikan Kaum Tertindas (2008)”, Freire mengungkapkan hal yang mirip dengan Bourdieu. Freire mengungkapkan bahwa selama ini, hakikat pendidikan telah tergerus oleh kepentingan egoistis pihak dominan yang menindas (selanjutnya disebut kaum penindas). Sekali lagi, kepentingan kaum penindas ini memanfaatkan ketidaksadaran kaum tertindas yang telah tertanam atau membudaya, sehingga terciptalah ketidak berimbangan yang merupakan keadaan penindasan. Penindas selalu memanfaatkan segala yang ada dengan usaha memiliki atau menguasai, meski harus membuat kaum tertindas semakin menderita.
Pendidikan yang seharusnya berlandaskan pada humanisme pundi manipulasi oleh kaum penindas dengan menjadikan kaum tertindas sebagai objek tipuan humanitarianisme. Padahal, pendidikan yang berlandaskan humanisme memosisikan semua manusia sebagai subjek, bukan objek. Ini sesuai dengan hakikat atau fitrah manusia (pendidik dan peserta didik) sebagai pelaku yang sadar, bukan objek penderita. Manusia harus menyadari bahwa segala yang ada di dunia ini harus disikapi dengan kritis. Manusia harus memahami dan menjalankan hakikat keberadaannya yang akan melahirkan perubahan realitas secara sadar, merdeka, dan bebas. Sementara itu, satu-satunya objek pendidikan dan kehidupan adalah realitas hidup yang harus dimaknai (pelajaran). Inilah humanisme yang harus diterapkan dalam kehidupan, terkhusus pendidikan.
Secara khusus, Freire dalam berbicara terkait interaksi belajar-mengajar juga menyoroti “gaya bank” guru atau pendidik. Gaya ini juga termasuk dalam penindasan atau pengingkaran idealitas pendidikan, menurut Freire. Gaya bank yang dimaksud adalah aktivitas peserta didik yang melulu hanya sebatas menerima, mencatat, dan menyimpan pelajaran. Guru terus bernarasi atau berceramah, sementara peserta didik hanya diam menjadi objek pasif, mendengarkan atau melakukan gaya bank tadi. Peserta didik dianggap bagai bejana atauteko kosong yang selalu akan terisi jika dituangi air oleh guru. Ini pun akhirnya menumpulkan kretivitas peserta didik dan membuka keran sikap menerima begitu saja peserta didik atas segala yang berlaku. Dari sini, fatalisme lahir, suatu kepatuhan atas segala yang diberlakukan oleh pendidik atas peserta didik. Kepatuhan ini, sekali lagi, karena dianggap sudah semestinya. Kepatuhan dan ketumpulan daya kritis ini akan dimanfaatkan oleh kaum penindas untuk memudahkan penindasan atau penguasaan agar “egoisme” kapitalistiknya berlangsung mulus.
Untuk resistensi, Freire mengampanyekan pendidikan pembebasan untuk kaum tertindas. Resistensi ini berupa penyadaran kaum tertindas bahwa penindasan itu ada, bahkan sedang menimpa mereka. Kaum tertindas harus mengetahui bentuk-bentuk penindasan dan mekanisme penindasan. Ketakutan-ketakutan yang bersifat mitos atau irasional harus dihentikan, sehingga penindasan dapat disadari dan dihentikan. Kesadaran atas perlakuan segala sesuatu yang berdasarkan daya kritis adalah landasan yang harus dihadirkan. Inilah tugas pendidikan dan hal yang harus lahir dari pendidikan. Pendidikan harus menghadirkan kesadaran kritis, bukannya kesadaran naif yang mengetahui penindasan, namun didiami saja, bukan pula kesadaran magis, yang menyadari masalah, nun menyerahkan semua kepada Tuhan dengan keyakinan Tuhanlah yang akan menyelesaikan. Jika pendidikan pembebasan untuk kaum tertindas inintelah digalakkan dan akhirnya terwujud, langkah selanjutnya adalah pendidikan untuk semua manusia, pendidikan yang humanis, pendidikan yang membebaskan.
Intinya, pendidikan yang membebaskan; pendidikan yang memanusiakan; pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang membebaskan peserta didik mengkritisi segala hal yang berlaku dalam kehidupannya. Peserta didik dan piranti dialektika kritisnya berfungsi sebagaimana hakikat kemanusiaannya. Peserta menyadari dan menghendaki segala sesuatu yang dijalani. Untuk apa sepatu yang sepenuhnya hitam di dalam proses belajar di sekolah? Untuk apa sampul buku berwarna merah buku geografi; sampul hijau untuk buku agama? Untuk apa seragam sekolah? Apa salahnya jika yang digunakan kaos oblong? Atau, memangnya kenapa kalau rambut peserta didik gondrong? Memangnya kenapa kalau peserta didik makan permen sambil belajar? Semua ini harus dikritisi, jika ternyata alasannya tidak layak, maka ini tidak boleh berlaku, terlebih dipaksakan.





0 komentar:
Post a Comment