Recent

14 December, 2015

Sejarah Tabe’

Oleh : Al-Fian Dippahatang


Jika engkau hendak melewati orang-orang
yang duduk membicarakan negara yang mabuk.
Sebaiknya, sambil berjalan engkau membungkuk.
Menunduk dengan meluruskan tangan di samping lutut.
Membuka lurus jari-jemari, namun tetap lekat rapat
menghadap ke tanah yang tak henti dikikis,
padahal mesti dicintai layaknya ibu kandung.

Bukan berarti kubebaskan langkahmu.
Lantas aku tak peduli dengan tingkahmu.
Aku yakin, pikiranmu tak bakal mengukurku
hingga aku ada dalam takaranmu.
Tapi, aku senang engkau percaya,
aku bukan ahli petuah seperti yang marak
dikisahkan buku-buku kebudayaan,
agar mengajarimu sopan santun, seolah kurang beradab
dan butuh perhatian menjadi bijak.

Dunia ini goyah karena latah menganggap ada ata.
Aku ada dihidupmu, bukan urusanku mengungkit masa lalumu.
Hingga, lubang lukamu serupa palung.
Berpikir ingin berpaling dariku,
karena pendapat selalu saling silang.
Tapi, jangan. Jangan sekali-kali engkau niati
menampung kenanganmu seolah engkau menabung
untuk menjajal jalinkan lagi untuk kembali.

Jika nanti, aku sulit menggamit harapanmu.
Dan engkau minta pamit tanpa menyambut airmataku.
Tundalah untuk percaya, tak baik merayakan pergi
dengan sendiri. Demi taat pada kaki yang
bakal engkau kayuh sejauh-jauhnya.

Kini, engkau kubuat menepi, sebab, aku berjalan menuju jarak
yang tak bakal engkau temui di peta. Engkau penasaran, jelas.
Sebab, aku tak mudah ditipu atau dirayu bahkan dibujuk.

Aku meniti, sebab engkau titipkan pesan kakek-nenekmu
di sepasang bahuku yang belajar kekar menghadapi adatmu
yang membenci seseorang tanpa paham tabe’


Makassar, 2015

0 komentar:

Post a Comment