Oleh : Al-Fian Dippahatang
Jika
engkau hendak melewati orang-orang
yang
duduk membicarakan negara yang mabuk.
Sebaiknya,
sambil berjalan engkau membungkuk.
Menunduk
dengan meluruskan tangan di samping lutut.
Membuka
lurus jari-jemari, namun tetap lekat rapat
menghadap
ke tanah yang tak henti dikikis,
padahal
mesti dicintai layaknya ibu kandung.
Bukan
berarti kubebaskan langkahmu.
Lantas
aku tak peduli dengan tingkahmu.
Aku
yakin, pikiranmu tak bakal mengukurku
hingga
aku ada dalam takaranmu.
Tapi,
aku senang engkau percaya,
aku
bukan ahli petuah seperti yang marak
dikisahkan
buku-buku kebudayaan,
agar
mengajarimu sopan santun, seolah kurang beradab
dan
butuh perhatian menjadi bijak.
Dunia
ini goyah karena latah menganggap ada ata.
Aku
ada dihidupmu, bukan urusanku mengungkit masa lalumu.
Hingga,
lubang lukamu serupa palung.
Berpikir
ingin berpaling dariku,
karena
pendapat selalu saling silang.
Tapi,
jangan. Jangan sekali-kali engkau niati
menampung
kenanganmu seolah engkau menabung
untuk
menjajal jalinkan lagi untuk kembali.
Jika
nanti, aku sulit menggamit harapanmu.
Dan
engkau minta pamit tanpa menyambut airmataku.
Tundalah
untuk percaya, tak baik merayakan pergi
dengan
sendiri. Demi taat pada kaki yang
bakal
engkau kayuh sejauh-jauhnya.
Kini,
engkau kubuat menepi, sebab, aku berjalan menuju jarak
yang
tak bakal engkau temui di peta. Engkau penasaran, jelas.
Sebab,
aku tak mudah ditipu atau dirayu bahkan dibujuk.
Aku
meniti, sebab engkau titipkan pesan kakek-nenekmu
di
sepasang bahuku yang belajar kekar menghadapi adatmu
yang
membenci seseorang tanpa paham tabe’.
Makassar,
2015
0 komentar:
Post a Comment