Recent

08 March, 2017

MENGINGAT JALAN-JALAN YANG DILUPAKAN INGATAN


Pengarang : Agus Noor 

Semua jalan, Ibu,

selalu membawaku

kepadamu.



Di kota yang telah dilupakan oleh ingatan,

aku mencoba mengingat jalan-jalan

yang pernah kita lalui. Juga jalan-jalan

yang belum pernah kita lalui,

             dan yang mungkin akan kita lalui.



Pada setiap jalan yang telah dilupakan oleh ingatan

selalu ada kisah yang menolak dilupakan,

          dan tak mungkin terlupakan.

Setiap jalan punya kisah yang dengan tabah

disimpannya sendiri, menanggung luka

                                dan kebahagiaannya sendiri.

Ketika melewati sebuah jalan

                              kita tak pernah tahu:

adakah  kita menambahi luka,

                     atau kebahagiannya.

 

 Apakah jalan yang kulalui, Ibu,

menambah lukamu.

Atau menyudahi kebahagianmu?



Setelah tahun-tahun yang ingin dilupakan

          masih saja aku mengingat sebuah jalan

yang membentang dari masa kecil.

Jalan yang sabar menyimpan semua tangisan

yang kadang ingin kudengar dalam kesendirian.



Di jalan yang abadi dalam kenangan itu, Ibu,

aku tak lagi bisa membedakan tangismu dan tangisku.

Ketika kudengar tangismu, aku seperti

                     mendengar tangisku sendiri



Kenangan, barangkali memang piringan hitam,

yang suka memutar kesedihan berulang-ulang.



Kota telah mengubah jalan-jalan, tetapi akan

           selalu ada jalan yang abadi dalam ingatan.

Jalan-jalang menghilang dari sejarah.

Mereka terhapuskan tapi tak terlupakan.

Seperti engkau yang lelah, tapi menolak menyerah.



Bagaikan pengungsi ditawan kegelapan,

jalan-jalan itu mencari takdirnya sendiri

agar sampai yang sampai padaku,

                                     sampai juga kepadamu.

Dari arah mana pun jalan itu,

                            dari masa depan atau masa lalu,

              ia akan selalu membawaku padamu.

Adakah jalan itu, Ibu, adalah jalan

                   yang selalu menautkan kepedihan

                                              dengan kenangan



 “Agar kau sampai pada sunyiku, mari

kutunjukkan jalan paling rahasia,

ke jantungku,” katamu.



Dadamu: kota yang berdebar.

Kota penuh jalan rahasia

                yang telah lama terbakar

menjadi memar kisah samar-samar.



Di kota yang dilupakan oleh ingatan inilah, Ibu

aku mengingat jalan-jalan dalam dadamu.



Kau pernah bercerita;

perihal jalan, yang pada suatu hari

menjelma burung, terbang dan hinggap

ke kota lain. Orang-orang memberinya

nama baru. Membangun patung seorang pangeran

yang menyaru dengan jubah megahnya

hanya untuk menutupi kesedihannya.



Kini aku mencoba mengingat, Ibu,

di sebuah kota yang telah hilang dari ingatan:

adakah sebuah jalan yang akan terus menghubungkan

               kenangan dengan kepedihanku, kepadamu.



Seorang kekasih, di sebuah losmen murahan,

pernah berbisik memelukku.

“Akan kukenalkan kau pada satu jalan,” katanya

meraih bibirku yang telah  mekar oleh gairah.

Lalu ia buka bajuku. Kutangku. Celanaku.

                       Susuku. Kulitku. Ingatanku.

Dan ia tunjuk, celah pahaku:

                    inilah jalan bebas hambatan,



menuju surga.



Aku telah memilih jalan bagi kepedihanku,

ketika seluruh jalanan di kota ini ingin aku lupakan.



Jalanan kota ini penuh mahkluk ganjil

yang dadanya menyimpan api kemarahan.

Jalan-jalan yang berkobar tubuh para korban:

wanita yang mati diperkosa.

Jalan-jalan yang mengelabu dan mengelabui.



Seperti Malin terdampar di bandar

yang mengasingkannya, aku memandang jalan-jalan

yang terbakar, di sebuah kota yang telah dilupakan

oleh ingatan. Bila waktu sebuah jalan, Ibu,

betapa jauh ia telah membawaku melupakanmu.



“Bagi seorang anak, sebuah jalan akan melupakan.

Ibu adalah jalan mengabadikan,” katamu



Mungkin, suatu hari orang-orang akan menemukanmu

tergeletak di sebuah jalan tanpa nama, tanpa ingatan.



Pada suatu hari itu, percayalah,

hanya aku yang mengingatmu, Ibu.

Akan selalu mengingatmu.

Meski semua jalan lenyap dari ingatanku.



2011

0 komentar:

Post a Comment