Elegi Jakarta, II
Ia yang hendak mencipta,
menciptalah atas bumi ini.
Ia yang akan tewas,
tewaslah karena kehidupan.
Kita yang mau mencipta dan akan tewas
akan berlaku untuk ini dengan cinta,
dan akan jatuh seperti permata mahkota
berderai sebutir demi sebutir.
Apa juga nasib akan tiba.
Mesra yang kita bawa, tiadalah
Kita biarkan hilang karena isapan pasir.
Engkau yang telah berani menyerukan,
Kebenaranmu dari gunung dan keluasan
Sekali masa akan ditimpa angin dan hujan.
Jika suaramu hilang dan engkau mati,
Maka kami akan berduka, dan akan
menghormat bersama kekasih kami.
Kita semua berdiri di belakang tapal,
Dari suatu malam ramai,
Dari suatu kegelapan tiada berkata,
Dari waktu terlalu cepat dan kita mau tahan,
Dari perceraian-tiada mungkin
Dari sinar mata yang tiada terlupakan.
Serulah, supaya kita ada dalam satu barisan,
Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan senja
Terik yang keras tiada lagi akan sanggup
Mengeringkan kembang kerenyam
Pepohonan sekali lagi akan berdahan panjang
Dan buah-buahan akan matang pada tahun yang akan datang.
Mungkin engkau orang perang dan aku petualang,
Tetapi suatu hari cinta telah dijanjikan.
Jika bulan Juni telah pulang
Aku akan membaca banyak pada waktu malam
Dan mau kembali ke pantai Selatan jika kemarau telah datang
Laut India akan melempar pasang
Bercerita dari kembar cinta dan perceraian.
Aku akan minta, supaya engkau
Berdiri curam, atas puncak dibakar panas
Dan sekali lagi berseru, akan pelajaran baru
Waktu itu angin Juni akan bertambah tenang
Karena bulan berangkat tua,
Kemarau akan segan kepada bunga yang telah berkembang.
Di sini telah datang suatu peranan
Serta kita akan menderita dan tertawa
Tawa dan derita dari
yang tewas
yang mencipta …
0 komentar:
Post a Comment